Apa itu hypokeimenon ?
Hypokeimenon itu sendiri adalah Bahasa Latin (Yunani) yang artinya subjektif. Kata itu sendiri saat ini masih menjadi sesuatu yang meragukan pemikiran saya, apakah subjektif itu melekat mengikuti kondisi ataukah laten hingga kondisi tidak berada. Secara spesifik pembahasan tentang subjektif (nilai) sederhananya angka pada konteks sekolah itu sudah objektif ataukah memang benar-benar tidak diantara objektif maupun subjektif. Artinya kedua pernyataan tersebut bisa dibantah dengan argumentasi si penutur. Akan tetapi, mayoritas akan menolak dibanding menerima jika angka yang ada pada katakanlah rapot itu diuji dengan argumentasi tiap individu yang memiliki angka pada hitam diatas putih. Baiklah untuk memahami konsep subjektif itu sendiri akan saya sampaikan dengan tuturan yang sederhana. Akan saya mulai dengan pertanyaan penguji.
Apakah manusia bisa menilai sesuatu yang tidak ada nilainya?
Pertanyaan tersebut tidak memiliki jawaban pasti, hampir semua jawaban benar jika cara berpikirnya logis. Menentukan logis pun tidak bisa serta merta hanya dengan argumentasi. Saya mulai dengan jawaban, missal ada "perampok". Menurut Anda apakah "Perampok" itu bisa kita nilai dengan angka-angka sederhana yang berarti mewakili perbuatannya. Missal saya bagi menjadi 3 kategori perampok.
- Merampok karena kebutuhan menghidupi keluarga
- Merampok karena hobi
- Merampok karena Gabut
Apakah adil jika saya berikan nilai kategori A (perampok kebutuhan keluarga) dengan nilai -20. Kategori B (Hobi) Nilai 0, lalu kategori C (Gabut) nilai 20. Konsepnya akan selalu ada jawaban murni jika belum ada penggiringan opini / tata aturan komunal secara turun temurun. Nah jawaban murni itu pasti akan selalu mengasyikan dan mempunyai esensi dalam pemberian nilai. Bahwa menurut Si (A) saya memberikan nilai itu sudah adil, sedangkan menurut Si (B) nilai yang saya berikan sangat buruk.
Berbanding terbalik mungkin saja ada Penggiringan opini/aturan komunal dalam nilai yang saat ini sudah menjadi penyakit dalam situasi industrial. Misal ada guru A memberikan nilai 70, tapi kebanyakan guru lain memberikan nilai 90. Pada akhirnya guru A dengan nilai 70 akan mengikuti yang lain, karena tuntutan dari atas ke bawah. Yang saya maksud atas ke bawah adalah hili (pendidikan tinggi) hulu (pendidikan rendah) dalam artian luas. Apakah pemberian nilai seperti itu adil, jika alasannya hanya tuntutan industrial. Tentu jika alasannya indutrial pasti pola tersebut tidak akan bertahan lama, katakanlah pola komunal tersebut paling bertahan maksimal 10 tahun. Nah setelah pola tersebut luntur, sederhananya jika semuanya sudah memberikan nilai minimal 90 dan maksimal 100. Lalu kategori apalagi yang dapat kita buat, apakah kategori afektif? Kalau sampai afektif dinilaikan suatu saat nanti, maka itu artinya kemunduran humaniora di negara kita. Segala sikap etika dan etiket diwujudkan dengan angka yang buat saya ini hanya permainan belaka. Sejatinya saya sendiri tidak menolak memberikan nilai tinggi apalagi protes, tapi saya sendiri belum mengetahui esensi makna terdalam jika berbicara angka. Sebagai penutup, mari pikirkan ke depan tentang kategori penilaian tanpa tuntutan dari A,B,C,D dan E.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H