Lihat ke Halaman Asli

Manusia Mendegradasi Agama

Diperbarui: 10 Agustus 2021   17:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sumber : qureta.com dan mrdhan.wordpress.com

Pernahkah Anda menonton film berjudul Agora? Film itu dirilis pada Oktober 2009. Film itu menceritakan mengenai seorang filsuf Yunani bernama Hypatia.  Sebagai seorang pemikir, ia banyak meneliti tentang kosmologi. Penelitian yang ia lakukan yaitu mempelajari pergerakan matahari, bulan, dan bintang. 

Pendeknya, ia menciptakan sebuah teori yang ia yakini kebenarannya bahwa bumi mengorbit mengitari matahari sebagai pusatnya (eliptic orbit). Namun, teorinya itu disebut sesat oleh para pemuka agama Kristen, sehingga ia dianggap sebagai tukang sihir (Witch). Pada akhirnya, ia dibunuh dengan cara dirajam karena dianggap telah melawan agama. Bentuk kekerasan berupa pembunuhan yang mengatasnamakan agama jelas tergambar di dalam film yang berdurasi 126 menit itu. Bagaimana bisa agama, yang katanya sebagai wejangan Allah, firman Tuhan, malahan dijadikan alat untuk membunuh?.

Konflik Agama

Bahkan, dalam beberapa waktu di era sekarang ini, kita pun pernah disuguhkan oleh kejadian-kejadian seperti bom bunuh diri di tengah keramaian yang menewaskan banyak orang. Diduga karena latar belakang fanatisme agama tertentu. Di Indonesia, tak jarang terjadi konflik terjadi antara agama yang satu dengan agama lainnya hanya karena merasa terganggu dengan suara adzan. Konflik terjadi hanya karena pendirian gedung gereja. 

Dan, yang paling viral kita pernah saksikan yaitu adanya demonstrasi berjilid-jilid hanya karena seseorang melakukan kesalahan ucapan (slip of tounge) yang menyinggung agama tertentu. Dan hal itu terus diprovokasi sehingga membakar emosi kaumnya untuk melawan karena merasa agamanya dilecehkan. Sesegera mungkin, provokasi menghinggapi otak mereka dan secara otomatis menggerakkan pengikutnya untuk melawan pihak yang telah memfitnah. Jika hal tersebut selalu terjadi, maka kehancuran di depan mata. Sudah hampir pasti selalu ada korban.

”Yang lain” berbeda

Melihat kejadian-kejadian itu, pikiran saya mulai bermain bahwa mungkin suatu saat nanti perlu ada pemisahan yang jelas antara agama dengan para pengikutnya. Pada dasarnya, misi yang dibawa agama adalah baik dalam arti normatif, yaitu menjunjung tinggi nilai cinta kasih, keadilan, perdamaian, keselamatan, dan lain-lain. Akan tetapi, para pemeluknya terkadang, bahkan terlampau sering mencari-cari strategi lain yang justru malah mendegradasi agama itu sendiri. Alhasil, bagi mereka yang secara manusiawi sudah sungguh menjadi manusia, yang bersandar pada akal budi dan hatinya pasti akan mampu mengerti bagaimana harus menyikapinya. 

Akan tetapi, jika pelakunya masih belum “manusia”, bersiaplah untuk menghadapi kekerasan yang berujung pada kehancuran. Sebab, bagi ”manusia” semacam ini, apa yang merintanginya, yang tidak sesuai dengan ajaran agamanya, hanya memandang orang lain sebagai sampah yang harus disingkirkan. Alih-alih memandang perbedaan sebagai keniscayaan untuk saling belajar dan bertumbuh bersama sebagai kawan, malahan dianggap sebagai musuh yang berbahaya. Dalam hal ini, ada baiknya perlu ada pemahaman yang mendalam tentang keberadaan ”yang lain”, ”yang berbeda” (Liyan).

Fungsi Agama

Pemaparan mengenai fungsi agama ini akan saya tinjau dari aspek sosiologis. Ada tiga hal, antara lain : Pertama, agama sebagai wahyu Allah lewat ajaran para Nabi. Dalam hal ini, agama menjadi semacam ruang yang memberikan batas ruang gerak manusia ketika berhadapan dengan kenikmatan yang duniawi. Ketika manusia melakukan tindakan yang mengancamnya jatuh ke dalam ”dosa”, maka agama menjadi tuntunan untuk memanggilnya kembali ke dalam ruang nilai yang sudah diwahyukan dalam ajaran mereka. Sebab, jika mereka melanggar ajaran tersebut, konsekuensinya adalah ”dosa”.

Kedua, agama sebagai wadah persatuan umat/jemaat sebagai pengikut dari ”Yang Maha”, kita menyebutnya sebagai Tuhan. Setiap orang dari latar belakang yang berbeda-beda, yang dipengaruhi oleh budayanya masing-masing, akan melahirkan cara berpikir (budaya) yang membawa mereka ke dalam wilayah pemahaman akan yang ”Transenden”. Sesuatu yang ”Transenden” mereka idolakan sebagai ”Yang Maha”, karena diangap sebagai kekuatan yang dapat memuaskan kebutuhan religius mereka. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline