Lihat ke Halaman Asli

Pandu Adithama Wisnuputra

Mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Padjajaran

Stof en Rook (Bab IV: Perjalanan ke Vaals (II))

Diperbarui: 24 Januari 2025   14:55

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pemandangan kota Vaals tahun 1929. (Sumber: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/769848)

21 Desember, 1920. Jalan antara Bocholz dan Vaals.

"Jadi juffrouw, anda berasal dari Hindia?" Judith bertanya kepadaku selagi kami berjalan melewati pinggiran jalan desa berbatu yang sempit. "Betul, Judith. Mengapa bertanya? Kau pasti sering mendengar omongan buruk tentang orang-orang dari sana ya?" Judith menjawab dengan nada mengejek. "Oh tentu saja, liplap, hasil hubungan antara ras unggul dan rendah, tidak bisa berbicara bahasa Belanda dengan benar, pemalas, pemboros-" Kututup mulutnya. "Ya, aku sudah cukup mendengarnya, anak kecil kurang ajar."

Judith melepaskan tanganku. "Bukan begitu maksudku! Pandangan orang-orang memang seperti itu, tapi itu hanyalah sebuah pandangan umum bodoh! Juffrouw punya darah bumiputra, itu hal bagus! Berarti orang tuamu menjalin hubungan baik dengan penduduk lokal (sungguh ku harap ibumu bukan seorang gundik). Itulah yang diajarkan di Alkitab sesungguhnya, untuk apa melarang pernikahan antar ras? Mereka dinaikkan derajatnya menjadi manusia beradab sama seperti kita. Orang-orang benar-benar terlalu menganggap diri mereka seperti dewa.". Aku melihatnya dengan sedikit terkejut, karena selama di Hindia, cukup sering para Belanda totok menghina orang-orang sepertiku. Dia berbeda, sama seperti Marlene dan beberapa orang lainnya selama di sini.

.....

Setelah beberapa lama, kami tiba di kota kecil Vaals. "Wah, apa yang aku pikirkan, aku mengira kota ini akan terlihat sedikit berbeda dari kota-kota lainnya, tapi sama saja kelihatannya!" Aku marah ketika berjalan di trotoar kota dan duduk sejenak di sebuah bangku. Orang-orang yang terlihat tidak peduli berlalu-lalang, dengan berbagai mobil yang juga mengisi jalanan.

Kota Vaals, meskipun memiliki arsitektur yang kurang lebih sama dengan kota-kota lainnya di Belanda, memiliki ciri khas tersendiri, yakni nuansa pepohonan yang diselimuti oleh salju tebal yang berada tidak jauh dari kota memberikan nuansa bagaikan negeri dongeng, mirip dengan hutan yang menjadi inspirasi Grimm bersaudara.

"Kau tahu yang manakah rumah milik Mark Vorster, Judith?" Tanyaku. Judith duduk di sebelahku. "Rumahnya meneer Vorster ada di selatan kota, dekat hutan Preusbosch, rumah nya terlihat berbeda sendiri, kau akan lihat nanti. Tapi aku tidak bisa menemanimu." Ia menjelaskan. "Kenapa tidak bisa? Kau boleh mendengarkan obrolan kami, mungkin akan terkesan kompleks, tapi kau tetap bisa belajar. Lagi pula, kau tidak akan dianggap sebagai ancaman karena kita akan melakukan penjagaan." Judith hanya tersenyum sambil berdiri meninggalkan bangku. "Tidak, aku ingin membeli beberapa tanaman herbal, seperti yang kemarin sudah aku beritahu." Judith kemudian berjalan menjauh, sebelum seorang laki-laki bersyal putih tidak sengaja menabraknya. "Lihat yang benar! Dasar Katolik!" Teriaknya ketika ia berjalan menjauhi kami. Wah, kasar sekali. Judith sempat terlihat marah, namun hanya bisa terdiam. Kami berdua kemudian berpisah.

......

Aku berjalan hingga ke pinggir kota dan menyusuri sekitar hutan Preusbosch. Hutannya cukup rindang dan berselimutkan salju tebal di antara ranting-ranting yang terlihat sudah mati tersebut. Di sekitar daerah sini masih terlihat orang berlalu lalang, namun tidak terlalu banyak, mungkin karena masih di jam kerja. Tak lama kemudian, ada sebuah pagar besi panjang, terletak sedikit jauh dari pinggiran kota, yang memiliki ukiran... wayang kulit? Ya, itu ukiran dari Yudistira, kalau aku tidak salah. Salah satu tokoh wayang yang aku cukup sukai, karena ia memiliki banyak sifat yang patut dikagumi: bijaksana, pemimpin mumpuni dan yang paling utama, tidak pernah berbohong (seharusnya). Di balik pagar besi, terlihat sebuah rumah besar berwarna coklat tua yang terlihat berbeda dengan bangunan-bangunan lainnya, cenderung bergaya Art Deco dengan jalan yang menuju sebuah air mancur dengan patung perempuan dari marmer yang kelihatannya seperti Dewi Athena dalam mitologi Yunani berdiri dengan anggun di depan pintu depan rumah. Si Vorster ini punya selera yang bagus juga tentang dekorasi rumahnya.

Pintu pagar kugeser dan mulai memasuki halaman depan rumah, kelihatannya tidak ada orang. Salju yang turun tidak menutup jalan, jadi pemilik rumahnya pasti masih tinggal disini. Kudekati pintu depan dan berniat untuk mengetuknya, namun. "Anda siapa? Kenapa anda berada di depan rumah orang?" Kulihat ke belakang dengan terkejut, ternyata ia pria bersyal putih yang menabrak Judith sebelumnya. BAK! Belum sempat kujawab ia langsung memukul wajahku dengan kepalan sekuat baja dan membuatku pingsan, setelah kepalaku menabrak pintu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline