Lihat ke Halaman Asli

Pandu Wirayudha

mahasiswa/hubungan internasional/universitas jember

Hilirisasi Nikel: Penolakan oleh WTO, Hambatan atau Keuntungan?

Diperbarui: 13 Maret 2023   07:02

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Presiden Joko Widodo (Jokowi) berulang kali menegaskan bahwa Indonesia akan melakukan hilirisasi semua SDA. Tidak hanya untuk wilayah pertambangan, tetapi sektor kelautan dan kehutanan juga.

Hilirisasi adalah strategi suatu negara dalam meningkatkan nilai komoditas barang dengan memproses suatu barang  mentah (raw material) menjadi barang setengah jadi bahkan jadi.   Dengan hilirisasi, tentu saja nilai jual suatu barang akan bertambah.

Salah satu wujud nyata hilirisasi di Indonesia adalah pembatasan produk barang mentah. Bahlil mencontohkan, pada 2017 sebelum boikot, komoditas barang besi dan baja Indonesia hanya USD 3,3 miliar. Kemudian, setelah boikot tersebut, pada tahun 2022 komoditas asli barang besi dan baja tercatat sebesar USD 27,8 miliar.

Jokowi percaya melalui hilirisasi yang handal, Indonesia akan menjadi negara maju pada 2045 dengan GDP (Gross Domestic Product) mencapai USD 9 triliun-USD 11 triliun. Apalagi, pendapatan per kapita Indonesia juga diperkirakan mencapai USD 21 ribu-USD 29 ribu.

Penolakan WTO

Presiden Joko Widodo menganut strategi stop komoditas logam nikel ke Uni Eropa mulai 2020 yang lalu. Strategi ini diambil dengan memikirkan bahwa nilai produk akan lebih berprofit jika logam nikel diubah menjadi barang yang lebih signifikan (barang jadi).

Berdasarkan informasi BPS pada 18 September 2022, nilai produk barang-barang anak perusahaan nikel telah meningkat pada dasarnya sejak otoritas publik memberlakukan pembatasan komoditas mineral nikel pada pertengahan tahun 2020. Hal ini terlihat dari nilai produk barang-barang anak perusahaan nikel pada Januari- Agustus 2022 yang mencapai USD 12,35 miliar atau tumbuh 263% dibandingkan 2019. Sebelum  boikot atau pelarangan komoditas mineral nikel, harga produk hanya mencapai USD 3,40 miliar.  

Pengaturan larangan produk mineral nikel mendapat perlawanan keras dari Uni Eropa dengan menggugat Indonesia melalui World Trade Association (WTO). Namun sayangnya, pada Oktober 2022, Indonesia dinyatakan kalah.

Menjawab kekalahan tersebut, Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera meminta menteri - menterinya untuk mengajukan banding di WTO.

Keikutsertaan Indonesia di WTO didorong oleh kepentingan publik untuk mendorong pembangunan moneter dan pengentasan kemiskinan. Sedemikian rupa, untuk memperkuat posisi tawarnya, Indonesia bergabung dengan beberapa koalisi. Koalisi ini antara lain G-33, G-20, NAMA-11, yang memiliki kepentingan yang hampir sama. Indonesia secara efektif terlibat dalam pertemuan-pertemuan ini dalam membentuk tempat khas yang berfokus pada development objectives dalam Doha Advancement Plan (DDA). Indonesia juga selalu terlibat secara efektif dengan isu-isu yang menjadi keunggulan fundamental Indonesia, seperti isu perubahan iklim (climate change), pembangunan berkelanjutan, dan perdagangan multilateral.

Jelas, kerugian RI dalam gugatan Uni Eropa itu dipicu karena industri hilir nikel di Indonesia dinilai masih tidak kompeten.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline