Lihat ke Halaman Asli

Kata Matanya yang Kupercaya

Diperbarui: 26 Juni 2015   00:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Rasa itu muncul lagi.  Sialan! Aku paling benci bila rasa itu datang.  Sangat-sangat mengganggu!  Segala sumpah serapah aku luapkan kepada siapapun yang lewat didepanku.  Dan mereka semua menyingkir ketakutan.

Hei, aku cuma menyumpah, bukan meludah!

Aku mulai menitikkan air mata.  Rasa itu kembali lagi.  Benar-benar memuakkan! Aku pun menggeram, berharap rasa itu akan pergi terbirit-birit.  Percuma.

Dan aku menangis, pelan.  Terisak, menangis biasa dan kemudian menggerung. Aku menggerung dan berguling dan meminta belas kasih agar rasa itu pergi dari dalamku.  Pergilah, please!  Kau menyiksaku, rasa!

Tak ada yang peduli.  Dan aku tak berharap ada yang peduli.  Ini rasa ku kok, bukan rasa orang lain.  Dan aku tak akan pernah sudi membagi rasaku dengan orang lain, dengan alasan apapun.   Jika bisa,  tak pula kubagi dengan bagian tubuhku yang lain.  Biar aku dan hatiku yang menikmati rasa itu.

Tangisku mereda. Rasa itu masih ada.  Aku telah duduk kembali merangkul lututku.  Berguling-guling tadi rasanya menggelikan juga.  Pasti mereka tertawa sewaktu melihatku berguling-guling tadi.  Tapi, ah, kan aku bilang aku tidak peduli. Aku mendekap lututku.  Siang itu panas. Sangat panas.  Beberapa wanita melewatiku dengan berpayung lebar. Ada yang berwarna hitam, ada yang berwarna pelangi, ada yang cuma bertopi.  Semuanya sama, meringis karena kepanasan.  Rasa itu membuatku dingin. Menggigil badanku. Hiiihh...!!

Ah, ada sepasang kaki mungil yang tidak bergerak yang kuintip dari balik dekapan lututku. Aku mendongak.  Seorang pangeran kecil menatapku diam.  Mata hitam bulatnya menatap langsung ke mataku. Aku balas menatapnya tajam, supaya dia ketakutan dan pergi terbirit-birit seperti orang-orang lain.  Matanya tidak berkedip. Dan semakin membulat menatapku.  Tatapanku mulai melembut.  Mengapa menatapku seperti itu, pangeran? Tak adakah kegiatan lain yang kau lakukan? Mataku menyapanya.

Mata bulat hitamnya menjawab dengan jenaka, "Rasa itu tak akan pernah hilang.  Nikmati rasa itu selagi ada.  Kala rasa itu menguap tak kentara, maka akan hampa semuanya."

Mataku mendebat." Tapi rasa ini sangat mengganggu, dan bahkan menyakitkan."

Matanya membulat. "Nikmati sakit itu. Saat rasa itu hilang, hilang pula sakit, tapi hilang pula slilit yang terkadang membuat kita asyik berkrenyit-krenyit. Saat rasa sakit itu bisa dinikmati, maka tak akan pula kau lepaskan.  Sangat indah."

Mataku ikut membulat. "Masa?"

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline