Saya terus terang pusing dengan kondisi politik akhir-akhir ini, apalagi media massa terutama televisi tidak independen dalam pemberitaan (karena pesanan owner). Komjen Pol Budi Gunawan (Komjen BG)- mantan Ajudan Presiden Megawati, sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, tapi anggota DPR seratus persen mendukung BG menjadi Kapolri. Maka, dilangsungkanlah fit and profer test tanpa menggubris status tersangka yang disematkan kepada BG dari KPK. Ada apa ini? Tumben, gak seperti biasanya?
Dalam sidang paripurna, seratus persen anggota dewan mendukung BG menjadi Kapolri. Kalaupun Demokrat dan PAN tidak setuju itu biasa dalam sidang di DPR. Maka, Komjen BG tinggal menunggu pelantikan sebagai Kapolri. Tapi, apakah mungkin seorang Kapolri menjadi tersangka kemudian tetap dilantik ? Persoalan ini berhenti sampai disini.
Situasi politik bertambah hangat, ketika beberapa hari kemudian muncul gambar rekayasa foto Ketua KPK Abraham Samad dengan Putri Indonesia. Beberapa pakar menyatakan bahwa foto itu adalah hasil rekayasa dengan tingakat kemiripan 80 persen, karena di desain oleh desain grafis yang professional.
Foto mesra Abraham Samad itu ternyata tidak mempan. Kemudian berikutnya muncul Plt Sekjen PDIP Hasto Kristianto, yang menyatakan bahwa Abraham Samad pernah meminta menjadi Wakil Presiden mendampingi Jokowi dan melakukan pertemuan di sebuah apartemen di Jakarta. Hadir ketika itu, kata Hasto, Andi Widjayanto.
Andi Widjayanto yang kini menjabat Sekretaris Kabinet mengatakan tidak ada pertemuan yang dimaksud oleh Hasto tersebut. Begitu pula mantan Sekjen PDIP Tjahyo Kumolo (kini Menteri Dalam Negeri) juga mengatakan hal yang sama sebagaimana yang dikatakan Andi Widjayanto.
Hari ini, 23 Januari, Wakil Ketua KPK Bambang Widjayanto (BW), ditangkap Bareskrim Polri secara kasar di depan anaknya yang berusia 20 tahun. Tangan BW diborgol dan dibawa ke Bareskrim. Setahu saya, biasanya Polri, dalam penetapan status tersangka seseorang, terlebih dahulu harus di kirimkan surat pertama, kedua, dan ketiga. Baru kemudian, ketika tidak memenuhi panggilan penyidik, maka bisa dijemput paksa alias ditangkap.
Penangkapan ini, tentu sangat aneh bin ajaib. Apalagi yang melaporkan BW ke Bareskrim pada 15 Januari lalu adalah Sugianto Sabran (anggota DPR F-PDIP) dan dalam tempo enam hari setelah laporan BW langsung ditangkap Bareskrim. Coba bayangkan, kalau perkara lain bertahun-tahun tidak di gubris Polri, meski laporan polisi sudah dilayangkan.
Di sisi lain, tadi siang, di Istana Bogor, Presiden Jokowi yang juga diusung PDIP, tidak memberikan keterangan yang tegas sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Beliau hanya memberikan pernyataan normative, bahwasannya meminta Polri dan KPK tidak terjadi gesekan. Jadi, hanya dibiarkan saja terserah Polri dan KPK mau melakukan apa.
Ketika musim kampanye Pilpres 2014 kemarin, muncul isu bahwa Jokowi kalau jadi Presiden akan menjadi “boneka” dari Megawati Soekarnoputri. Saya tidak percaya dan saya terus terang tetap nyoblos Jokowi. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, dan bulan ke bulan, saya amati, ternyata isu itu benar.
Dari mana buktinya? Banyak orang dekat yang berinteraksi dengan kalangan Istana dan Tim Transisi, juga Timses Jokowi yang mengatakan, bahwa tidak bisa diangkat menjadi menteri, karena tidak disetujui Megawati Soekarnoputri. Yang terakhir adalah pengangkatan petinggi TNI yang tanpa melalui proses Wanjakti, langsung naik bintang tiga dalam tempo hanya satu jam dan dilantik Jokowi.
Jadi kesimpulannya, yang menjadi Presiden itu Jokowi atau Megawati atau orang disekelilingnya? Kalau melihat fakat A1 tersebut, maka dapat dipastikan bahwa Jokowi tidak bisa berbuat banyak, karena ulah tim yang memenangkan Jokowi-JK pada Pilpres kemarin.
Maka, diharapkan agar Jokowi tampil sebagaimana Jokowi seadanya, jangan berkompromi dengan partai dalam hal pengangkatan Kapolri maupun petinggi di TNI. Kalau untuk jabatan menteri mungkin kita maklumilah, tapi sangat berbahaya jika Polri yang memiliki kekuasaan dalam hukum dipolitisasi.
Satu hal lagi, kenapa Presiden Jokowi tidak berani memindahkan Polri dibawah kementerian. Kalau saya jadi Presiden, saya akan pindahkan Polri dibawah Kementerian. Seperti TNI dibawah Kementerian Pertahanan. Supaya Polri tidak punya kesempatan memperkaya diri dan tidak memiliki rekening gendut dari para pengusaha.
KPK tidak main-main dalam menetapkan seseorang menjadi tersangka. Karena begitu jadi tersangka maka tidak akan lolos dari jerat KPK sampai pengadilan. Berbeda dengan Polri dan Kejaksaan Agung yang selalu rajin mengeluarkan SP3 (Surat Perintah Penghentian Penyidikan).
Untuk pemberantasan korupsi hanya KPK yang bisa kita andalkan. Jangan sampai scenario politik dilancarkan untuk menghancurkan bangsa ini untuk kepentingan partai politik dan kelompoknya. Institusi yang sudah tiga kali dikriminalisasikan ini, tidak mempan disuap, apalagi bermain dalam perkara. Berbeda dengan intitusi lain. Jadi, mari seluruh rakyat Indonesia untuk bergerak mendukung KPK. Hanya lembaga ini satu-satunya yang kita harapkan. Saya cinta NKRI, maka tulisan ini saya turunkan. Semoga Pak Jokowi tidak berhenti ditengah jalan dalam memerintah seperti Gus Dur atau diturunkan rakyat karena sudah banyak yang kecewa.
Menjadi pertanyaan besar, siapa yang membuat skenario ini???
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H