Lihat ke Halaman Asli

Agama Tak Berdaya Melawan Korupsi di Negeri Ini

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Maraknya korupsi yang dilakukan politisi yang mencitrakan diri agamis, menurut Guru Besar Filsafat Driyarkara, Romo Frans Magnis Suseno, SJ, menunjukkan kelemahan manusia dalam lingkungan yang merusak sangat sulit untuk mempertahankan prinsip keagamaan.  Saya berkesempatan berbincang dengan Romo Frans, usai menyampaikan kuliah Filsafat bertajuk Etika Filsafat, dari Filsafat Yunani Klasik, hingga Filsafat Jawa,” sesi pertama, di Komunitas Salihara, Jakarta, Sabtu (2/2) lalu.

Dalam perbincangan sore itu, saya bertanya tentang fenomena korupsi di negeri ini. Seperti diketahui, belakangan ini banyak korupsi berbau kegiatan agama, semacam korupsi pencetakan Al-Qur’an, juga korupsi Sapi Import yang justru dilakukan oleh politisi yang mengaku diri paling beragama dari Partai Keadilan Sosial (PKS). “Orang-orang PKS juga manusia, dan kalau ada lingkungan yang merusak sangat sulit mempertahankan integritas. Saya melihat korupsi itu bukan inkonsistensi keagamaan. Tetapi merupakan kelemahan bertahan dari godaan,” kata Romo Franz,

Menurut Frans, kultur dan konstitusi politik di negeri ini membuka peluang korupsi yang sangat lebar. Sehingga menurutnya, perlu ada upaya serius mengubah konstitusi negeri ini. Politik yang mahal dan sistem yang merusak membuat pemahaman agama tak berkutik menahan godaan.

“Saya berkesimpulan, sudah waktunya para politisi berpikir bagaimana mengubah konstitusi agar berpolitik tak lagi mahal. Kenapa di Indonesia ada banyak korupsi, dan di Jerman sedikit. Karena di Jerman, ada sistim auditing yang betul-betul berjalan Negara membayar Partai. Tak ada orang mau nyaleg harus membayar. Sehingga partai tak berlomba-lomba mencari dana lalu korupsi,” ujarnya.

Franz juga mengungkap perlunya memperkuat posisi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai lembaga investigasi yang sangat dahsyat. “Di Jerman ada lembaga Investigasi yang tajam. Di Indonesia itu sudah ada, kalau bisa lembaga itu mencari cacatnya politisi. Dalam situasi ini, bagi politik di Jerman, korupsi bisa ditekan. Jadi ini karena sistim. Indonesia begitu mahal untuk jadi politisi,” ujarnya.

Menurut Franz, fenomena korupsi di Indonesia tak berkaitan dengan etika agama. “Karena di setiap agama di Indonesia, korupsi itu ada. Agama hanya mengatur etika, kalau sistimnya tak mendukung, maka akan sulit.

Franz juga melihat bangsa ini kehilangan jatidirinya, sehingga terjebak pada hedonisme negatif. Terjebak pada prilaku koruptif, bahkan juga terjebak pada candu narkoba. “Bangsa ini kebingungan. Perlu pendidikan karakter. Tapi konkritnya pendidikan karakter ini sulit dijawab,” ujarnya.

Franz mengaku pernah mencoba merumuskan bentuk pendidikan karakter, bersama Yayasan Jatidiri Bangsa. Yakni dengan kembali pada filosofi dan kearifan lokal Jawa. Diantaranya dengan menkankan pentingnya sifat wani dalam membela kebenaran.

Dorongan untuk mengubah konstitusi juga disampaikan Budayawan Emha Ainun Nadjib (Caknun). Dalam Diskusi dan Bedah Buku Atlas Walisongo yang dilakukan bertepatan dengan hari lahir Nahdlatul Ulama (NU) di Kantor PB NU, Kamis (31/1) lalu. Menurut Caknun, bangsa ini sedang kebingungan mencari arah konstitusi. Karenanya Cak Nun mendukung keberanian Mahkamah Konstitusi dalam memutuskan sejumlah perkara terkait konstitusi di negeri ini.

Menurut Cak Nun, Pemerintah kita belum menyadari besarnya kekuatan kearifan budaya itu. Sehingga dalam hal konstitusi saja, bangsa ini masih meraba-raba. “Ternyata bangsa ini masih gamang mencari konstitusi. Padhal kalau merujuk sejarah, ternyata Majapahit bukan negara kesatuan tapi persemakmuran. Islam masuk, sistem Negara diubah menjadi kasultanan. Kemudian era Mataram, berubah menjadi Negara kesatuan yang sentralistik. Sekarang kita kebingungan lagi,” imbuhnya.

Seniman Sudjiwo Tedjo dalam pementasan Wayang bertajuk Sunan Kalijogo di PBNU, Jumat (1/2) juga mengulas keunggulan filosofi Jawa dalam membentuk jatidiri bangsa. Dalam pewayangan misalnya, Sunan Kalijogo mengajarkan kebijaksanaan prilaku. Diantaranya melalui tokoh Petruk, Gareng dan Bagong. Tiga tokoh wayang itu, menurut Sudjiwo Tedjo diambil Sunan Kalijogo dari kata Fatruk Ma Bago. “Tinggalkan segala sesuatu yang jelek, kembalilah kepada kebaikan,” ujarnya.

Tedjo juga berharap keberadaan NU di Indonesia bisa memperbaiki kondisi politik dan budaya di negeri ini. Karena banyak orang NU yang bergerak di berbagai bidang. Di ranah seni, ada Asrul Sani, Usmar Ismail dan sebagainya. “Di Politik juga NU ada di mana-mana. Seharusnya bisa mewarnai,” harapnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline