LEBIH dari 200 keluarga nelayan di pesisir Desa Labuhan Lalar, Kecamatan Taliwang, Sumbawa Barat, Provinsi NTB, mengeluhkan berkurangnya hasil tangkapan ikan di perairan mereka dalam kurun beberapa waktu terakhir.
Ikan seperti "menghilang" dari perairan Labuhan Lalar, sementara untuk melaut lebih jauh, para nelayan tak memiliki kapal yang cukup besar.
"Padahal musim sedang berpihak dan angin barat belum datang. Tapi ikan seperti mengilang di sini, harus berani melaut lebih jauh untuk dapat tangkapan. Sudah hampir empat tahun terakhir seperti ini," kata Nuhung (45) nelayan yang juga ketua RT 4 Dusun Warak, Desa Labuhan Lalar.
Minggu siang (24/6), Nuhung bersama sejumlah nelayan berkumpul di sebuah bale-bale tepat di pinggir pantai Labuhan Lalar. Ratusan sampan bertambat di atas "jembatan" atau susunan kayu yang dibuat untuk menambatkan sampan. Sudah sejak 2009 silam, setelah Desa Lalar dihantam ombak pasang, para nelayan di pantai ini harus membuat jembatan sendiri, setelah pantai mereka tak memiliki pasir lagi. Bibir pantai sudah ditimbun dengan batu-batu pemecah gelombang, tersusun memanjang 2 Km.
[caption id="attachment_184436" align="alignleft" width="300" caption="PULANG TETAP UMPAN. Usman (60), salah seorang nelayan Labuan Lalar, menunjukan umpan ikan yang dibawa dan tetap umpan tanpa membawa hasil tangkapan setelah seharian melaut."][/caption] "Dulu Desa Labuhan Lalar ini terkenal sebagai penghasil ikan. Bahkan pemasok ikan sampai di Dompu dan Bima, juga sebagian pulau Lombok. Tapi sekarang daerah kami justru menjadi pasar ikan dari luar," kata Nuhung.
Kondisi bibir pantai yang dipasangi pemeca gelombang justru menyulitkan nelayan menambatkan perahu mereka. Jika tak diberi jembatan, tentu semakin sulit sampan naik ke bebatuan.
Usman (60), salah seorang nelayan Labuan Lalar mengaku mulai menggantungkan hidup dari berhutang, karena hasil tangkapan tak bisa diharapkan. Sejak lepas subuh, Minggu (24/6) Usman bersama dua anak lelakinya turun melaut berarap mendapat ikan tangkapan. Tapi hingga menjelang Ashar, sampan hanya bisa pulang dengan isi ikan untuk umpan.
"Tidak dapat sama sekali. Sudah lima hari begini, pergi bawa umpan, pulangnya tetap umpan. Padahal untuk modal plus umpan kita butuh Rp250 ribu sekali melaut," keluhnya, saat menambatkan sampan. Ia menunjukan ikan sardine sebagai umpan yang dibeli di pasar seharga Rp50 ribu.
Saat ini para nelayan di Desa itu mengandalkan hidup dari pinjaman ke koperasi swasta dengan bunga tinggi. Masyarakat disana menyebutnya dengan istilah "piring terbang". "Kita sebut piring terbang, karena kalau mereka datang menagih hutang sampai piring-piring makan juga diangkut kalau kita tak bisa bayar," kata Usman.
Kehidupan para nelayan di Desa Labuan Lalar sudah tidak seperti dulu. Masa kejayaan perkampungan nelayan di sana pada tahun 1990-an, kini tinggal kenangan. Ikan yang mulai berkurang bukan saja berdampak pada nelayan, tapi juga dirasakan tengkulak ikan yang dalam bahasa lokal disebut Palele.
Mustafa Abdul (56), pria warga Labuhan Lalar yang sudah menjadi Palele sejak tahun 1984 mengakui hal tersebut,"Dulu kita beli ikan disini dan jual sampai ke Lombok dan Jawa. Sekarang justru saya beli ikan di Dompu dan Bima untuk dipasarkan disini, sudah tidak seperti dulu," katanya.
Menurut Mustafa, di tahun 1995-an, ikan jenis Lamuru (ikan permukaan sejenis ikan sardine) sangat mudah dijala di kawasan Labuhan Lalar. Tapi sekarang ikan Lamuru seperti menghilang, tak pernah lagi didapatkan nelayan Labuhan Lalar.
"Tidak tahu pasti apa penyebabnya ikan seperti menghilang. Tapi kata LSM banyak yang bilang karena lautnya tercemar limbah tailing Newmont (PT Newmont Nusa Tenggara)," kata Nuhung, ketua RT 4 dusun Warak, Desa Labuhan Lalar.
PT NNT adalah perusaaan tambang tembaga dengan ikutan emas dan perak yang sudah beroperasi di Batu Hijau Sumbawa Barat, NTB sejak 2001 silam. Meski perusahaan yang sebagian sahamnya kini dimiliki Pemda NTB, Sumbawa dan Sumbawa Barat, itu memberikan dampak ekonomis yang signifikan bagi masyarakat NTB, toh dampak limbah tailing yang dibuang ke laut terus menuai kontroversi akibat pemahaman masyarakat yang minim dan kurangnya sosialisasi.
Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) Desa Labuhan Lalar, Nasruddin (37) berharap agar Pemda Sumbawa Barat dan Pemda NTB, serta pihak PT NNT untuk membantu kondisi nelayan Labuhan Lalar. Namun, ia menolak bantuan-bantuan fisik lagi.
"Selama ini kami dibantu pembuatan Sekolah, Masjid, dan Puskesmas. Kami juga dibantu perahu, alat tangkap, tapi secara parsial dan itu tidak bermanfaat. Kami minta hentikan
bantuan-bantuan fisik seperti itu. Bantu nelayan disini dengan pemberdayaan, kasih kami keterampilan teknologi, kasih istri-istri kami modal usaha bakulan, dan bekali kami dengan sistem pemasaran yang baik, ini lebih berguna," katanya.
Menurut Nasruddin, seringkali bantuan pemerintah berupa sampan dan alat tangkap, tapi dibagi pisah-pisah. Ada nelayan yang dapat sampan saja, mesin saja, dan jala saja. Mereka tak bisa menggunakannya.
Ia berharap ada bantuan kapal lebih besar yang bisa dikelola secara kelompok, agar nelayan bisa melaut lebih jauh lagi," Setidaknya seukuran 30 GT. Tapi jangan setelah kasih kapal kami ditinggalkan, ajari kami dan bila perlu ajak nelayan disini studi banding ke daerah nelayan yang sudah modern," katanya.
Daerah pesisir, menurutnya, bisa mandiri ekonominya jika masyarakatnya paham tentang pengelolaan keuangan yang baik. Ketika tangkapan banyak mereka bisa menabung dan berusaha lain, sehingga di saat sepi tangkapan masih ada yang bisa diharapkan.
Nelayan di Labuan Lalar juga bisa bertahan dengan modal nekad melaut lebih jauh dari kawasan Lalar. Beberapa diantaranya melaut hingga ke teluk Senunu, Kecamatan Sekongkang, yang harus ditempuh empat jam perjalanan menggunakan sampan bermesin ketinting berkekuatan 5 PK. Hasilnya memang lumayan, tetapi modal yang dibutuhkan pun cukup besar.
"Sebenarnya kita juga masih bingung kenapa ikan seperti hilang di Labuhan Lalar. Kalau dibilang karena laut kami tercemar tailing, buktinya di Senunu (lokasi pembuatan Tailing PT NNT) justru banyak ikan disana,"kata Nasruddin.
Menurutnya, Pemda dan PT NNT harus rutin melakukan sosialisasi tentang dampak tailing kepada masyarakat di Labuhan Lalar secara langsung. Jangan melalui perwakilan saja dan dilakukan dari jauh.
Salah seorang nelayan Labuhan Lalar yang kerap memancing ikan ke teluk Senunu,, Mahyudin (40), mengaku bisa mendapat tangkapan hingga Rp500 ribu sekali melaut ke Senunu.
Sayangnya, ia bersama rekan-rekannya tak bisa setiap saat melaut ke Senunu yang jaraknya cukup jauh.
"Di Senunu justru banyak ikannya, dan besar-besar. Tapi modal ke sana juga besar," katanya.
Seperti nelayan lainnya, Mahyudin juga berharap bantuan kapal yang lebih besar agar bisa lebih jauh melaut. Baginya, percuma saja Desa Labuhan Lalar dibangunkan sekolah, dan puskesmas, jika masyarakatnya tak punya cukup uang untuk mengakses pendidikan dan kesehatan.
Kepala Badan Lingkungan Hidup dan Penelitian (BLHP) NTB, Syamsul Arifin Dilaga mengatakan, trend menurunnya hasil tangkapan di Desa Labuan Lalar bukan karena pencemaran laut.
"Hasil penelitian regular dari Kementrian LH dan BLHP NTB bahwa di perairan Sumbawa belum ada pencemaran. Kadar kimia yang ada diperairan itu masih dibawah ambang batas, masih aman untuk biota laut, termasuk di Labuhan Lalar. Hasil itu sudah kami sosialisasikan di Sumbawa Barat awal Juni lalu," katanya.
Menurutnya, isu pencemaran tailing di Labuhan Lalar memang sempat mengemuka saat sosialisasi hasil penelitian dilakukan di Sumbawa Barat. Masyarakat Labuhan Lalar menyampaikan laut mereka berubah warna dan airnya terasa gatal di kulit. Namun, setelah dikroscek langsung ternyata tidak benar.
Syamsul menduga berkurangnya ikan tangkapan di Labuhan Lalar lebih disebabkan karena banyaknya nelayan penangkap dibanding populasi ikan di sana. "Kalau mereka masih bisa mendapat ikan bahkan di teluk Senunu, berarti hanya di Lalar saja populasi ikannya turun karena sering ditangkap," katanya.
Sementara itu, senior public relation dan special program PT NNT, Ruslan Ahmad mengatakan, dugaan sejumlah pihak terkait pencemaran tailing yang menyebabkan berkurangnya hasil tangkapan ikan di Labuhan Lalar, merupakan tuduhan yang tidak mendasar.
"Kalau memang karena pencemaran tailing, kenapa justru banyak ikan di Senunu, padahal Senunu merupakan kawasan utama pembuangan limbah tailing. Hasil penelitian Kemen LH dan BLHP juga menyatakan tidak ada pencemaran," katanya, Senin (25/6).
Menurut Ruslan, melihat potensi perikanan di teluk Senunu juga, PT NNT sejak Mei 2012 lalu sudah membangun dua unit rumpon di kawasan itu. Tujuannya untuk lebih memperbanyak habitat ikan di sana dan berdampak pada peningkatan perekonomian nelayan.
Nelayan yang beraktivitas di kawasan Senunu juga diberi bantuan modal dan peralatan menangkap ikan, dengan sistem pinjaman lunak. PT Korina yang bekerjasama dengan Newmont memberikan bantuan modal maksimal Rp3 juta perbulan untuk tiap nelayan. Mereka juga disediakan pemasarannya, sehingga hasil tangkapan langsung bisa dijual ke PT Korina sekaligus menyicil pinjaman.
"Saat ini sudah ada 103 nelayan yang mengikuti program itu, dari dua Kecamatan Sekongkang dan Maluk. Nelayan Labuhan Lalar dan lainnya juga bisa terlibat dalam program ini," katanya.
Menurut Ruslan program ini merupakan pilot project yang nantinya akan dikembangkan pula di sejumlah kawasan pesisir di Sumbawa Barat, Sumbawa, dan Lombok Timur.
Tercemar atau tidak perairan Labuhan Lalar, bagi Usman (60), salah seorang nelayan Labuan Lalar, bukan hal yang utama, "Orang bilang tercemar, ada yang bilang tidak. Bagi saya biar pun ikan sulit didapat, yang penting saya tetap berusaha mencarinya, saya melaut saja. Syukur alhamdulillah kalau pemerintah mau bantu," katanya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H