Lihat ke Halaman Asli

Sugi Siswiyanti

blogger lifestyle, content writer, writer

Trauma Itu . . .

Diperbarui: 2 September 2017   18:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dari sekian peristiwa yang terjadi, kukira semua hal sedih selalu terhubung denganmu. Hampir seribu hari dilewati, seharusnya kenangan-kenangan buruk itu lepas pelahan. Sayangnya, itu hanya teori. Ketika buku-buku motivasi, para psikolog, dan para psikiater bilang trauma bisa sembuh; bisa lepas dengan terapi, pagi tadi kusimpulkan trauma sama dengan sakit jiwa. Ia melekat pada diri yang mengalaminya.

Dari sekian banyak teori yang kubaca dan kudengar, trauma bisa hilang dengan melakukan kegiatan yang disukai. Menulis, menyanyi, menari, dan olahraga merupakan sedikit contoh kegiatan yang bisa dijadikan terapi penyembuhan trauma. Aku memercayai teori itu. Aku mengiyakan lalu mempraktikkannya. Namun, tak semudah atau sesederhana yang kubayangkan. Setiap kali sedih datang, trauma itu memanggilmu kembali meski hanya dalam mimpi. Sejauh apa pun dirimu, selama apa pun aku tak ingin melihatmu, kau tetap menyusup dalam kepingan sedih. Mengapa?

Untuk menulis tentangmu pun aku sangat enggan meskipun menurut teman-teman editor atau penulis menarik ditulis. Kukira berjalannya waktu dan bertemu orang baru bisa menjadi obat. Unfortunately no! So, what should I do?

Kau muncul dalam mimpi meski tak setiap hari. Mimpi yang tidak semua  buruk memang, ada juga  kenangan manis muncul dalam mimpi itu. Namun, apa pun temanya, bahagia atau menyenangkan sekalipun, saat terbangun, aku selalu merasa itu mimpi buruk. Dalam mimpi pun, kau tetap antagonis. Dalam mimpi, aku tetap membencimu. Sayangnya, mimpi tak mau kompromi meski tahu aku tak mau kaudatangi.

Semalam, kau datang lagi setelah beberapa lama tak muncul. Berbeda dengan kemunculanmu sebelumnya yang datar-datar saja, kali ini kau begitu menyebalkan. Aku marah kepadamu hingga menangis. Air mata terasa sekali derasnya saat itu hingga saat aku terjaga. Matamu melotot, kata-katamu kasar, dan tangannmu terangkat hendak menamparku. Drama pun berulang. Aku berlari sekencang-kencangnya keluar rumah dan kau mengejarnya. Saat aku berbelok, kau kehilangan jejak lalu kembali ke rumah. Aku sembunyi dan tak ingin kembali. Rangkaian cerita berlanjut, tapi sudah tak penting lagi.

Aku terbangun. Luka itu berdenyut sakit lagi. Tak ada asap sebelum ada api. Sebelum tidur, aku memang kecewa dengannya. Kekecewaan yang kusimpan sendiri karena aku tahu solusi itu belum kami miliki. Tak ada amunisi, tak ada logistik untuk agenda besar itu. Jadi, seperti yang dikatakannya semalam,"Kita hanya menjalani dan menikmati."  Seharusnya tak perlu kupikirkan dalam-dalam. Seharusnya kubiarkan saja. Di titik ini, meski aku tak suka membiarkan air mengalir membawa perjalanan kami, kondisinya memang demikian. Jadi, teruslah berjalan seraya menyiapkan diri secara material dan spiritual.

Kekecewaan itu terbawa dalam tidur dan kau -- si trauma- datang mewakili kesedihanku. Ini mimpi yang sangat menyebalkan. Aku tahu bukan karena rindu, melainkan alam bawah sadarku menyimbolkan dirimu sebagai kekecewaan dan sakit hati. Ufh..separah itukah kemarahanku padamu?

Kucari makna mimpi -mimpi buruk itu pada Jung, murid Freud.  Katanya, kehadiranmu dalam mimpi mungkin bagian dari sinkronisitas bermakna . Jawaban Jung belum memuaskanku. Kutanyakan juga kehadiranmu pada Redfield. Ia percaya betapa pentingnya jurnal mimpi. Setiap hal yang terjadi dalam mimpi menjadi simbol dari apa  yang kita rasakan, apa yang kita bayangkan, dan apa yang mungkin akan terjadi di masa  yang akan datang.

Penjelasan Redfield  linier dengan penjelasan Jung.  Jika kita mencatat mimpi-mimpi yang datang dalam tidur, kita akan menemukan sinkronitasnya. Sinkronitas alias kesamaan dari mimpi-mimpi itu akan membawa kita pada arti mimpi, bisa  juga pesan yang dibawa mimpi.

Demi menemukan jawaban atas pertanyaan kehadiranmu dalam mimpi, kutulis jurnal mimpi mulai hari ini. Semoga ada jawaban, semoga kudapatkan pemahaman. Setelah itu, mungkin bisa  kusembuhkan traumaku kepadamu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline