Ketika kami masih tinggal di sebuah pulau terpencil, namanya Pulau Gebe, tepatnya di Kabupaten Halmahera Tengah, Maluku Utara. Pulau ini memiliki sebuah Sumber Daya Alam (SDA) mineral yang cukup membuat beberapa perusahaan di Negara Jepang dan Australia melakukan pembelian hasil mineralnya berupa nikel.
Saya tidak menceritakan tentang SDA nikel yang dikeruk oleh sebuah perusahaan milik BUMN, PT. Aneka Tambang sejak tahun tujuh puluhan, namun saya ingin menceritakan kisah saya selama menghabiskan sekolah saya sejak SD hingga tamat SMA. Pulau Gebe sendiri dihuni oleh penduduk aslinya disebuah perkampungan yang dinamakan Desa Sanafi dan Desa Umera, semenjak PT. Antam mulai masuk dan melakukan eksplorasi, banyak penduduk yang mulai membuat perkampungan yang letaknya tidak jauh dari lokasi perumahan milik pegawai Antam yang didatangkan dari beberapa Unit Kerja Perusahaan (UKP) milik Antam seperti dari Pomalaa Sulawesi Tenggara dan dari Cilacap Jawa Tengah.
Bahkan bisa dikatakan pada tahun 80-an hingga 90-an UKP Antam Pulau Gebe didiami oleh hampir pendatang dari 27 propinsi saat itu, dan sudah tentu berbagai adat, budaya dan agama serta kebiasaan dan ilmu pengetahuan yang mereka miliki dari daerahnya diterapkan di dalam kehidupan dan lingkungan sehari-hari para pegawai PT. Antam yang jumlahnya hampir mencapai hingga 500-an kepala keluarga saat itu. belum lagi tambahan dari para pegawai kontrak.
Ketika saya masih kecil, masih duduk di SD beberapa pegawai yang dianggap sangat memerlukan mobilisasi berupa kendaraan roda empat mendapatkan jatah dari pihak perusahaan, pada tahun 1980-an itu, kendaraan mobil yang ada di Pulau Gebe yang termasuk mewah adalah jenis Taft 4x4 dan Katana, sisanya merek Kijang, dan ayah saya mendapatkan sebuah mobil kijang bekas bekas dari pelimpahan pimpinannya.
Saat itu, untuk semua keperluan mobil mulai dari bensin hingga perbaikan ditanggung oleh pihak perusahaan, namun itu harus dilakukan pada saat jam kerja, bengkel yang dibuka oleh masyarakat atau pegawai Antam juga ada, namun untuk kebutuhan seperti oli ataupun beberapa onderdil harus terpaksa dipesan dari Ternate menggunakan peswat terbang yang melayani rute Gebe-Ternate PP 3 kali seminggu.
Biasanya pada hari minggu para keluarga pegawai melakukan tamasya pergi ke pantai yang ada di Pulau Gebe, dan sudah tentu menggunakan mobil ataupun sepeda motor, dan keluarga kami juga sering pergi, apalagi saat itu ayah sudah diberikan kepercayaan untuk menggunakan mobil, dan kami tidak repot-repot lagi harus menunggu acara bersama dengan keluarga lainnya yang biasanya dilakukan oleh divisi kerja ayah.
Namun ketika itu sebuah persoalan muncul ketika rencana untuk pergi kepantai pasir putih berenang terancam batal, ketika Ayah yang baru saja tiba dari kantor karena harus mengurus beberapa dokumen kapal ekspor dari Jepang, mengatakan jika kondisi mobil tidak memungkinkan untuk berjalan jauh, karena air aki sudah hampir habis, dan artinya harus menunggu hari Senin untuk bisa mendapatkan air aki dari bengkel.
Akhirnya bisa dibayangkan kekecewaan kami, apalagi ibu yang sudah menyiapkan beberapa makanan khas dari daerah, sementara beberapa teman sekolah yang mendengar jika kami akan ke pantai, juga sudah datang ke rumah untuk ikut bersama kami. Walaupun sedang menghadapi kondisi demikian, namun beberapa teman tetap masih berharap bisa pergi.
Entah darimana datangnya salah satu rekan kerja ayah muncul membawa beberapa dokumen yang harus segera diselesaikan dan bermaksud untuk meminta tandatangan, melihat kami yang sudah bersiap untuk tamasya, menanyakan kenapa belum berangkat, akhirnya kuceritakan masalahnya, dan rekan kerja ayah tersebut, mengatakan itu bukan persoalan sebenarnya.
Raut muka kami langsung berubah, kegembiraan langsung muncul, dan beberapa teman sekoah saya berusaha untuk membujuk saya agar mau menyampaikan usulan yang disebutkan oleh rekan kerja ayah, yang ternyata memiliki pengalaman sebelum bekerja di PT. Antam pernah bekerja di salah satu bengkel di Kota Ternate.
Akhirnya saya mencoba untuk membuat ayah saya yang sudah bersiap-siap untuk makan siang dan berencana langsung tidur, karena melihat beberapa teman saya yang juga ikutan "mengantar" untuk menemui ayah saya, akhirnya Ayah saya bersedia untuk keluar dan menemui rekan kerjanya yang sedang berdiri di depan mobil yang kapnya sudah dibuka.