Merayakan Idul Adha di kala situasi pandemi telah memasuki kali kedua bagi masyarakat muslim. Bedanya, kekhawatiran akan penularan virus dan suasana mencekam yang diakibatkannya tidak seheboh layaknya tahun sebelumnya. Penyebaran virus belum optimal teratasi disaat aktivitas harus bergerak. Adaptasi, cara untuk bertahan di tengah pandemi. Pandemi mengharuskan setiap warga Untuk berhati-hati. Meski demikian, ibadah qurban terlihat tetap diupayakan terlaksana.
Prosesi penyembelihan atau pengelolaan hewan qurban sesuatu yang dinanti setelah ibadah Sholat Ied. Disunnahkan bagi muslim untuk melihat secara langsung saat penyembelihan hewan qurban guna meneladani makna Hari Raya Idul Adha. Di sisi lain, upaya untuk mengondisikan hewan qurban, khususnya sapi, menjadi tantangan tersendiri. Berbeda dengan kambing atau domba yang cukup ditangani oleh minimal dua atau bahkan cukup satu orang, sapi memerlukan lebih banyak tenaga dalam pengelolaanya. Selain perawakannya yang besar, sapi juga kerap mudah marah bila tidak ditangani dengan benar dan tepat. Mengamuk, atau bahkan lepas dari ikatan menjadi hal yang mungkin terjadi bila keliru dalam penanganan.
Seperti laporan dari Tribun Manado yang melaporkan bahwa mengamuknya sapi saat prosesi penyembelihan berakibat pada keselamatan orang sekitar. Patah lengan, ditendang sapi, hingga hilangnya nyawa tertulis dalam kabar tersebut.
Hal-hal yang diinginkan tersebut tidak terjadi dalam penyembelihan sapi di Mushola Al-Musafir. Ada yang berbeda di halaman Mushola Al-Musafir. Ada yang berbeda dari metode pengelolaan hewan qurban dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Pun kali pertama saya melihat metode pengelolaan yang seperti ini. Apakah itu?
Sapi yang biasanya diikat badannya dan direbahkan dengan menarik kaki saat akan disembelih sudah tidak dilakukan lagi. Kali ini, sapi dimasukkan dalam semacam kurungan hitam berangka. Sapi diikatkan di 5 bagian. 1. Bagian kepala, 2. Bagian ketiak hingga punggung 3. Bagian sudut paha ke bagian pinggul, 4. Bagian kaki depan, 5. Bagian kaki belakang. Semua bagian itu diikatkan pada kerangka di sisi kiri sapi. Kontan, sapi menempel pada bagian tersebut.
Setelah sapi terikat, kunci dan penambat bagian kerangkeng kiri dilepas. OOh, ternyata bagian tersebut bisa direbahkan dan itulah fungsi roda yang tertempel di bagian kiri kerangkeng. Agar saat direbahkan, sapi dapat digeser dengan mudah tanpa harus banyak tenaga untuk mengangkat atau menggeser.
Metode ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sarmin, dkk (2014) . Kerangkeng, atau sangkar, atau dalam istillah penelitian yang digunakan yaitu : restraining box tebukti tidak membuat sapi marah dan stress. Sapi yang stress saat akan disembelih akan berakibat daging sapi menjadi alot. Stres disebabkan penanganan sebelum dan saat proses penyembelihan. Oleh karena itu, dampak stres perlu diminimalkan baik intensitas maupun periodenya guna meningkatkan kesejahteraan hewan (Sarmin, 2014).
Stres pada sapi ditandai dengan meningkatnya glikogen otot yang berdampak pada menurunnya kualitas daging sapi. Terdapat tiga komponen yang memengaruhi tingkat stress dan kesejahteraan hewan selama proses pengelolaan penyembelihan yaitu: desain fasilitas, kompetensi petugas ,dan peralatan yang tepat. (Sarmin dkk, 2014).
Ketiga hal tersebut yang belakangan ini dilakukan di beberapa daerah di Indonesia. Seorang dosen di Fakultas Peternakan UGM mengembangkan alat perebah sapi portabel yang mekanismenya berbeda dengan yang digunakan oleh panitia di Mushola Al-Musafir. Apapun itu, diharapkan dengan peningkatan desain fasilitas, kompetensi petugas dan peralatan yang tepat, maka penanganan sapi lebih ramah dan sapiawi (manusiawi sepertinya bukan kata yang tepat, mengingat, ...)
https://ugm.ac.id/id/berita/19985-dosen-fapet-ugm-kembangkan-alat-perebah-sapi-portabel