Lihat ke Halaman Asli

Pilkada Jakarta: Ajang Pembuktian

Diperbarui: 25 Juni 2015   00:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Saya orang luar Jakarta, dus enggak punya KTP Jakarta, sehingga tidak bisa terhitung sebagai pemilih dalam pilkada DKI Jakarta. Meskipun tidak punya hak pilih, saya tertarik mengikuti dinamika pilkada ini mulai dari putaran pertama yang lalu dan yang akan datang putaran kedua tanggal 20 September depan. Pilkada Jakarta adalah barometer suhu dan anemometer angin politik Indonesia. Sehingga apa yang terjadi dalam pilkada Jakarta bisalah dijadikan preseden untuk pilpres 2014. Jakarta bernilai strategis untuk 2014. Itulah sebabnya masing-masing kubu kekuatan politik berhadapan secara frontal dan berjibaku untuk memenangkan jagonya dengan harga berapapun. PDIP dan Gerindra berada di belakang Jokowi-Ahok, sementara dua kekuatan besar politik yaitu Demokrat dan Golkar plus partai-partai kecil lain berada di belakang Foke-Nara. Siapa yang menang, akan membuka peluang untuk berkuasa pada pilpres dua tahun lagi. Itu sebabnya Pilkada Jakarta ini, tidak biasa, dan mengandung magnet yang sangat menarik perhatian, terlalu sayang untuk dilewatkan tanpa analisis proyeksi. Pilkada Jakarta sekaligus menjadi ajang pembuktian.

1.  Apakah pasangan bhinneka tunggal ika, heterogen atau majemuk yang direpresentasikan oleh Jokowi-Ahok lebih menarik hati orang-orang jakarta ketimbang pasangan homogen Foke-Nara yang sangat kuat merepresentasikan agama tertentu dan etnis tertentu. Jika Jokowi-Ahok menang maka, kemenangan bagi golongan yang sangat menghargai kemajemukan Indonesia  ketimbang hegemoni atas nama agama dan etnis tertentu. Ini adalah harapan besar bagi Indonesia ke depan, yang sekarang ini sedang mengalami cobaan masalah haluan dan ideologi bangsa. Persoalan ini seharusnya sudah selesai ketika bapak-bapak bangsa telah sepakat menjadikan pancasila sebagai ideologi bangsa, dimasa lalu.

2. Ajang pembuktian apakah hati nurani, akal sehat, sanggup mengalahkan politik uang yang sedang dijalankan Foke-Nara. Sudah menjadi rahasia umum bahwa Foke-Nara membayar mahar 5 M untuk PKS semata, belum partai-partai yang lain. Sementara Jokowi-Ahok hanya tetap mengandalkan partai pendukung semula yaitu PDIP dan Gerindra. Apakah warga Jakarta sanggup menggunakan hati nurani dan akal sehatnya semua akan terjawab setelah pemenang pilkada diketahui.

3. Ajang pembuktian apakah yang kecil sanggup memukul kalah yang besar. Bak pertarungan Daud melawan Goliat. Jokowi-Ahok merepresentasikan si kecil, semata karena mereka bukan siapa-siapa jika dibanding Foke yang lulusan Jerman, penyandang gelar Doktor dalam bidang tata kota, dan Nachrowi Ramli, sang Jenderal. Belum lagi soal amunisi, sudah jelas amunisi Foke-Nara jauh lebih banyak dari Jokowi-Ahok, terbukti bahwa mereka sanggup menarik partai-partai lain bergabung dengan mereka, dengan mahar yang membelalakan mata. Belum lagi hasil survey pendahuluan, diputaran pertama, sudah mengunggulkan kemenangan Foke-Nara.  Jika si kecil sanggup mengalahkan si raksasa, maka kekuatan apa yang dimiliki oleh si kecil? selain  kecerdikan dan kepasrahan  kepada Tuhan. 

Namun terlepas dari semua hiruk pikuk ini, kalah menang adalah soal biasa, kemenangan politik hendaknya menjadi kemenangan kepentingan rakyat yang lebih besar. Warga Jakarta jangan mau di adu domba, di provokasi. Ribut boleh tapi jangan kelewatan (sok menasihati-penulis) Kemenangan dalam Pilkada Jakarta adalah kemenangan warga Jakarta untuk menggapai hari esok yang lebih baik (entah ku pinjam dari mana kata-kata ini- Penulis). Selamat Malam Jakarta.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline