Lihat ke Halaman Asli

Sistim

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Apakah sarana untuk "menghidupi" keyakinan yang paling dalam di hati seluruh manusia tentang siapa dirinya dan kepada siapa dia menyembah? banyak orang bilang itu adalah agama. Apakah bisa keyakinan di hidupi tanpa agama, kalau istilah agama di sini merujuk kepada sebuah sistim kepercayaan yang terinstitusi? jawabannya pasti bisa namun dengan catatan hanya bagi orang-orang yang yang punya dorongan yang kuat untuk mencari hakikat dirinya dan hubungannya dengan sang pencipta. Para pembawa wahyu agama, ditandai sebagai pribadi yang selalu ingin mencari dan mencari, tidak puas dengan sistim kepercayaan yang dianut pada masa mereka, sampai akhirnya mereka "menemukan" sesuatu yang hakiki dan mulai banyak menarik pengikut.

Bagi orang-orang kebanyakan, yang tidak mau terlalu pusing dan mengambil resiko, dan lebih suka ketenangan hidup, maka sistim kepercayaan yang terinstitusi (katakanlah di sini disebut sebagai agama) menjadi penolong yang dapat memandu mereka untuk menemukan apa yang mereka cari, dan kebahagiaan hidup baik di dunia sekarang maupun di dunia yang akan datang.

Namun akhir-akhir ini (kalau bukan sudah dari dulu-dulu)  khususnya di Indonesia, sistim kepercayaan yang terinstitusi yang  menjadi pedoman dalam upaya hakiki dan transendental umat manusia, mengalami degradasi. Dari seharusnya menjadi wilayah yang bersifat suci, tulus, cinta kasih, kebaikan, hubungan yang bersifat hakiki antara manusi dan sang penciptanya, kemudian oleh oknum-oknum tertentu dipindahkan ke wilayah profan yang banyak menghitung kalkulasi untung rugi, perilaku memperdagangkan dan menggadaikan institusi trensendental tersebut demi barter dengan keuntungan-keuntungan yang lain, kepentingan kelompoknya untuk membenarkan kejahatannya kepada orang lain, pencitraan untuk menutupi kejahatannya dan menarik simpati.

Lalu tampaklah pertunjukan itu, di ruang-ruang pengadilan, ketika para terdakwa yang berdiri di depan para hakim kemudian menggunakan simbol-simbol sistim kepercayaan itu secara terbuka  demi meraih simpati, demi mencitrakan bahwa dia tidak bersalah, baik dari para hakim maupun dari publik yang langsung juga menjadi "hakim mereka.

Lalu tampaklah pertunjukan itu, diruang-ruang publik, orang-orang lain "dihakimi" dengan kekerasan dengan menggunakan dalil-dalil yang berlaku dalam sistem kepercayaan yang mereka anut. Namun bahwasanya dengan tidak sadar sebenarnya bahwa dengan cara dan metode yang demikian oleh segelintir orang, maka sesungguhnya sistim kepercayaan tersebut telah  dipaksa untuk bergerak dari wilayah damai kepada wilayah ramai, dari wilayah privat ke wilayah publik, dari wilayah cinta kasih ke wilayah angkara murka.  Benarkah itu?

Lalu apakah sebenarnya jati diri dari sebuah sistim kepercayaan yang terinstusi itu? benarkah di dalamnya dia berisikan ajaran-ajaran tentang kebohongan, tentang pencitraan untuk menutupi kejahatan, tentang kemunafikan, tentang kekerasan?. Jika dia dipercaya oleh banyak orang dari segala abad dan masa yang menggantungkan harapannya untuk dapat menikmati kebahagiaan di dunia yang fana ini, dan untuk dapat bertemu dengan sang Penciptanya, maka seharusnyalah  dia dapat memberikan ketenangan dan kedamaian bagi siapapun yang melarutkan dirinya di dalam sistim tersebut.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline