Transformasi dalam kehidupan sosial memiliki proses yang tidak cepat, Hal ini dikarenakan transformasi yang ada di setiap daerah di setiap lingkup masyarakat memiliki tingkat kecepatannya masing-masing tergantung berbagai macam faktor seperti faktor geografis, tingkat pendidikan, dan pengaruh kuat atau tidaknya suatu tradisi di masyarakat. Percepatan teknologi informasi yang berkembang sangat pesat 10 tahun terakhir membuat berbagai macam perubahan di masyarakat mulai dari hal-hal yang kecil hingga ke hal-hal yang fundamental.
Menurut Yasraf Amir Piliang kondisi masyarakat saat ini telah memasuki yang dinamakan cyberspace yaitu telah beralihnya berbagai aktivitas manusia baik politik, sosial, kultural, spiritual, seksual di dunia nyata ke dalam berbagai macam bentuk substitusi artificial (buatan).
Dengan hadirnya peran teknologi khususnya teknologi komputer dan informasi dalam mendefinisikan realitas kemudian terdapat sebuah definisi yang berbeda mengenai suatu realitas yang nyata dengan suatu realitas yang bersifat halusinasi karena keberadaan dunia maya yang membuat setiap orang bebas mengekspresikan dirinya dengan jati diri sesuai dengan apa yang dia kini dan sesuai dengan lingkungan di dunia maya.
Hal ini telah terjadi di lingkungan masyarakat di sekitar tempat tinggal saya di mana kemudahan akses terhadap teknologi informasi dan juga murahnya harga gawai atau smartphone membuat masyarakat kemudian hidup dalam suasana atau lingkup cyberspace yang membuat interaksi masyarakat secara langsung menjadi berkurang dan masyarakat kemudian hidup di dalam setiap objek-objek tak nyata yang ditangkap sebagai pengalaman dalam wujud halusinasi.
Dunia cyberspace yang didalamnya tidak lagi memiliki relasi dengan realitas bahkan terputus dengan dunia realitas kemudian menciptakan sebuah relasi yang bertentangan dengan harap presentasi yang disebut simulasi. Dunia simulasi ini dalam konteks cyberspace adalah sebuah dunia yang didalamnya setiap ada atau being dirubah wujudnya menjadi ada citra atau being image. Masyarakat kemudian dengan berkembangnya teknologi mencitrakan dirinya sesuai dengan apapun keinginannya yang mungkin berbeda dengan dunia realitas yang membuat identitas diri menjadi semakin bias dan kontrol terhadap diri juga semakin berkurang karena keberadaan kebebasan di dalam dunia cyberspace.
Di dunia maya menjadi salah satu tempat yang justru bukan menjadi bagian dalam pembentukan keontentikan diri karena setiap diri individu kemudian dihadapkan pada halusinasi di dunia citra dan tontonan masa kapitalisme yang bersifat totalitarian. Di masyarakat sekarang terutama pada usia remaja di tingkat individual, cyberspace telah menciptakan perubahan mendasar terhadap pemahaman mengenai, "Apa itu identitas ?"
Sistem komunikasi sosial yang dijembatani oleh teknologi komputer ataupun smartphone telah menyiapkan batas-batas identitas di dalam setiap diri individu dan juga membuat ruang-ruang sosial kemudian memainkan peran sosial yang berbeda-beda antara dunia cyberspace dan realitas yang ada, yang justru kemudian tercipta semacam kekacauan identitas yang mempengaruhi persepsi, pikiran, personalitas, dan gaya hidup setiap orang yang dimana hal ini sangat jelas terlihat ketika seseorang di dunia nyata itu berperilaku seperti pendiam dan kurang bergaul, namun ketika di dunia cyberspace perilaku individu kemudian jauh berbeda dengan dunia realitas yang dalam hal ini kemudian seseorang memiliki peran dan identitas yang berbeda atau multiple identity.
Di lingkungan tempat tinggal saya yang pada dasarnya masih memiliki kedekatan dengan tradisi dan budaya yaitu dari Keraton Yogyakarta kemudian seiring berkembangnya waktu, seiring dengan perkembangan teknologi informasi membuat tradisi dan suatu kebudayaan tradisional yang ada kemudian semakin ditinggalkan. Kebudayaan di era sekarang tidak memiliki fondasi yang kemudian mengapung kesana kemari mengikuti arah perubahan yang ada dan tidak memiliki ketetapan diri. Hal ini dikarenakan perkembangan kebudayaan menjadi sangat tergantung pada kekuatan kekuatan eksternal.
Kebudayaan di era informasi telah berkembang ke arah hiper realitas budaya yaitu kebudayaan telah melampaui batas-batas identitas, bentuk, prinsip, dan alamnya sendiri. Masyarakat sendiri juga kemudian memiliki kebingungan atau mengalami kondisi kegelisahan antara meneruskan warisan masa lalu atau membiarkan berkembangnya aneka kontradiksi kultural didalam sebuah ajang diskontinuitas kebudayaan yang dalam ini ini disebut suatu retakan-retakan kebudayaan.
Masyarakat yang kemudian semakin individual juga membuat retakan-retakan kebudayaan ini juga semakin besar, karena tidak dipungkiri juga keberadaan teknologi informasi ini menyajikan suatu dunia yang bebas dimana setiap individu bebas melakukan apapun yang ia inginkan sehingga membuat setiap orang nyaman atau telah diperbudak dalam suatu dunia yang disebut cyberspace. Kuatnya intervensi teknologi dalam membangun dunia simulasi realitas, batas antara realitas dan realitas artifisial berupa media, virtual menjadi semakin bias.
Kondisi masyarakat yang seperti ini sebenarnya memiliki implikasi yang sangat beragam termasuk implikasi terhadap sesuatu hal yang negatif karena landasan hidup seseorang, bagaimana identitas seseorang itu dibentuk menjadi sangat bias dan sangat liar yang membuat segala sesuatu tidak lagi memiliki fondasi tempat ia berdiri atau pijakan tempat ia bertumpu dan memasuki sebuah medan yang didalamnya setiap individu dapat berkembang melampaui batas, meninggalkan alam menyalahi logika, menanggalkan identitas, yang membuat proses perkembangan dan pertumbuhan individu menjadi sangat paradoks seperti pertumbuhan yang juga sekaligus penghancuran diri sendiri yang disebabkan runtuhnya struktur yang membangun dunia kehidupan sehari-hari serta hilangnya keseimbangan dunia tersebut karena sudah tidak adanya penyangga berupa moral, etika, spiritual, sosio, dan kultural yang menopangnya.