Lihat ke Halaman Asli

Palty

Penulis Amatir

Diskriminasi Pembagian Harta Warisan pada Wanita Batak Toba (Selamat Hari HAM ke-67)

Diperbarui: 15 Desember 2015   16:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dalam hal pewarisan hukum adat patrilineal maupun matrilinal masih kerap ditemui pembedaan gender yang sangat mencolok. Begitu juga dengan masyarakat penganut sistem patrilineal suku Batak Toba yaitu dimana pihak yang berhak sebagai penerima warisan atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja dan kaum perempuan tidak memiliki hak untuk mendapat warisan sedikitpun kecuali apabila ada kesepakatan bersama dalam suatu keluarga. Masyarakat patrilineal ini menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya anak perempuan nanti akan “dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga yang dimiliki suaminya.

Makna “gender” dalam adat istiadat suku Batak Toba mengandung pengertian perbedaan antara laki-laki dengan perempuan secara sosial. Kedudukan kaum wanita Batak Toba masih sangat lemah bila dibandingkan dengan laki-laki. Fenomena ini sudah berlangsung ratusan tahun lamanya, namun akibat dari kebiasaan masyarakat hal ini menjadi kebudayaan yang dijaga dengan baik serta tidak boleh dilanggar.
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat di lihat dari berbagai bidang kehidupan, antara lain bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum-hukum adat). Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah di bandingkan dengan kedudukan laki-laki.

Budaya patrilineal yang sudah merasuki hampir seluruh lapisan kehidupan masyarakat tentu tidak akan bisa dihilangkan begitu saja. Karena pada umumnya mereka terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan yang ditempatkan dalam arena domestik dan kungkungan adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagi profesi-profesi terhormat dalam masyarakat, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Contoh sederhananya mereka harus melahirkan anak, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak dan suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi keluarga suaminya maupun kelompok kekerabatan ayahnya tanpa ada warisan yang diperoleh kelak dikemudian hari. Berkaca dari fakta tersebut, sudah sepantasnya pada masa sekarang ini pembagian harta warisan secara hukum waris adat Batak Toba dilaksanakan secara sama rata terhadap laki-laki dan perempuan walau ada kemungkinan akan merusak struktur dan falsafah yang telah dipegang erat.

Hubungan yang sub-ordinasi (suatu penilaian atau anggapan bahwa suatu peran yang dilakukan oleh satu jenis kelamin lebih rendah dari yang lain) dialami oleh seluruh perempuan Batak Toba tanpa pengecualian. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari ideologi patriarki yakni ideologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan sub-ordinasi tersebut.

Hakekatnya dilihat dari sisi hukum nasional, ketentuannya sangat jauh berbeda terutama soal warisan. Tragis memang, di era demokrasi dan emansipasi wanita, hukum adat Batak Toba belum mampu menyelaraskan kesetaraan dan keadilan gender. Bisa dibayangkan, Indonesia yang sudah pernah memiliki seorang presiden wanita sama sekali belum mampu merubah pola pikir masyarakat Batak Toba untuk menaikkan harkat wanita dalam berbagai hal, utamanya dalam adat.

Kedudukan perempuan yang sangat lemah ini harus ditinggalkan sebab bertentangan dengan hak azasi dan jelas merupakan suatu indikasi bahwa adat Batak Toba ini diskriminatif terhadap perempuan. Masalah ini memang sudah sering menjadi sorotan atau topik pembicaraan dalam berbagai seminar atau pembahasan secara resmi. Namun hingga saat ini realisasi untuk perubahan atau pendukung untuk menaikkan harkat wanita belum ada.

Pada hal, kalau dilihat dari kemampuan wanita Batak Toba secara nasional tidak perlu diragukan. Seseorang yang namanya Miranda Gultom, sudah pernah menduduki jabatan sebagai Gubernur Bank Indonesia. Kemudian, ada Basariah Panjaitan yang juga merupakan salah satu calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berpangkat Irjen atau jenderal bintang dua. Begitu juga dengan nama tenar, Duma Riris Silalahi yang merupakan Runner-Up Putri Indonesia 2007 mewakili Sumatera Utara.

Bila diulas lebih jauh, pembedaan gender sebenarnya sudah tampak sejak suatu keluarga terbentuk. Dalam suatu rumah tangga yang memegang erat budaya Batak Toba secara tradisional, jika mereka tidak mempunyai anak laki-laki mereka akan berusaha selalu memproduksi anak sampai mereka mempunyai anak laki-laki. Karena anak laki-laki itu yang akan menjadi garis keturunan sang ayah dan pembawa marga. Maka dari itu anak laki-laki sangat istimewa, sehingga dalam kehidupan sehari-hari anak laki-laki sangat di “anak emaskan”.

Didalam kehidupan sehari-hari dalam keluarga, anak laki-laki sangat ditabukan untuk melakukan pekerjaan perempuan, Anak laki-laki hanya disiapkan untuk menjadi anak yang sukses dan di tuntut untuk belajar dan belajar. Anak laki-laki walaupun dia masih duduk dibangku sekolah lanjutan tingkat atas kedua orang tuanya sudah mempersiapkan anak laki-lakinya hendak kemana ia akan menempuh hidupnya, misalnya ia akan dipersiapkan segala sesuatunya untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat yang lebih tinggi seperti bangku perkuliahan.

Namun,hal tersebut sangat jauh berbeda dengan anak perempuan. Orang tuanya akan berpikir berkali-kali untuk menyekolahkan anak perempuannya tersebut, karena terkadang ada pemahaman orangtua; untuk apa menyekolahkan anak perempuan sampai tingkat yang lebih tinggi, kalau pada akhirnya si anak perempuan akan dinikahkan dan tidak memiliki pengaruh positif sedikitpun bagi keluarga dalam hal adat.

Perbedaan gender telah banyak membuat para perempuan tersiksa baik itu secara fisik dan psikologis. Laki-laki dan perempuan merupakan makluk Tuhan yang derajatnya sama. Hanya satu perbedaan diantara perempuan dan laki-laki yaitu perempuan dapat mengandung dan melahirkan sedangkan laki-laki tidak.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline