Lihat ke Halaman Asli

RUU Pilkada: Koalisi Merah Putih Resahkan Rakyat

Diperbarui: 18 Juni 2015   01:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

"Para Politisi, yang pertama dibenak kalian adalah bagaimana mendapatkan kekuasaan. Kedua, bagaimana mempertahankan kekuasaan itu. Itulah tugas utama dan terutama kalian. Masalah rakyat, urusan yang kesekian".
Panggung politik pasca keputusan Mahkama Kostitusi hasil Pilpres 2014 masih bergejolak. Terlebih manuver yang dilakukan partai politik yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih.
Yang hangat saat ini yakni pembahasan Rancangan Undang Undang Pemilihan Kepala Daerah. Rancangan Undang Undang tersebut saat ini yakni kepala daerah dipilih anggota DPRD bukan lagi langsung dipilih oleh rakyat sebagaimana yang terjadi setelah reformasi.
Rancangan UU ini disokong oleh partai koalisi Merah Putih. Jelas, bila terjadi sidang pengesahan, bila akhirnya keputusan harus diambil lewat voting, maka keinginan partai koalisi Merah Putih akan terwujud. Karena mengusai lebih banyak sudara di parlemen. Koalisi Merah putih tersebut yakni Gerindra, Golkar, Demokrat, PPP, PAN dan PKS.
Saya bukan pendukung PDIP ataupun pendudkung Jokowi, niatan untuk pemilihan kepala daerah kembali lagi ke sistem dipilih anggota dewan - sistem sebelum reformasi - jelas sebuah kemunduran demokrasi. Alasan yang dilontarkan partai koalisi Merah Putih mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD jelas tidak bisa diterima.
Misalnya, untuk mengurangi biaya pemilihan dimana pemilihan langsung oleh rakyat membutuhkan biaya yang tinggi. Pemilihan langsung oelh rayat bisa dikurangi dengan cara penggunaan e-voting dalam pemilihan. Fungsi KTP E-elektronik harus dimaksimalkan. Selain itu, pemilihan kepala daerah serentak juga sudah dianalisis bisa mengurangi biaya pelaksanaan.
Selain itu, KPU juga bisa membatasi jumlah penggunaan dana kampanye bagi para calon. Dana maksimal harus ditentukan. Selain, melakukan proses kampanye yang tidak memakan biaya besar bisa diatur.
Misalnya saja, Basuki Purna, yang akan segera naik ke kursi Gubernur DKI Jakarta, mengaku hanya membagi - bagikan kartu nama ke masyarakat. Dana yang dikeluarkan Basuki pun tidak banyak. Kalau bagi - bagi duit ke pemilih, jelas membutuhkan dana yang besar.
Selama ini, KPU tidak membatasi dana kampanye calon. Mencari model kampanye yang tidak makan biaya besar juga belum dilakukan.
Selain itu, selama ini biaya dalam Pilkada yang besar adalah mahar bagi partai politik untuk mendapatkan dukungan sebagai syarat untuk mencalokan diri. Ini sudah menjadi rahasia umum.
Jadi alasan pemilihan langsung oleh rakyat disebut membutuhkan biaya besar sehingga pemilhan kepala daerah kembali ke DPRD SANGAT TIDAK BISA DITERIMA.
Alasan lain yang diutarakan partai koalisi Merah Putih yakni politik uang. Ini juga menjadi alasan yang menggelikkan. Apakah pemilihan lewat DPRD tidak terjadi politik uang? Siapa yang bisa menjamin?
Sudah menjadi rahasia umum juga, semasa pemilihan kepala daerah lewat DPRD, calon yang paling banyak menggelontorkan duit, itulah yang akan menang. Ini sudah menjadi perbicangan masyarakat sebelum masa reformasi. Dan ini sudah menjadi rahasia umum.
Saya akui, ada masyarakat memang menafaatkan momen pemilihan langsung untuk menggeruk keuntungan. Namun itu tidak bisa menjeneralisir seluruh masyarakat Indonesia. Apa yang dilakukan Basuki Purnama bisa dicontoh agar sang calon juga tidak terjebak dengan buaian oknum - oknum yang menggeruk keuntungan.
Untuk mengikis politik uang dimasyarakat juga tidak lantas mengembalik pemilihan ke DPRD. Partai politik semestinya memberikan pelajar politik ke rakyat. Ini yang tidak terjadi. Rakyat selalu dijadikan kambing congek. Bahkan rakyat dikibul - kibuli para calon pemimpin dimana setelah memimpin tidak menepati janjinya.
Partai politik takut memberikan pembelajaran poilitik ke masyarakat. Karena bila rakyat sudah melek politik, maka para elit partai tidak bisa lagi mengibuli rakyat. Sama seperi terkait hukum. Bila semua rakyat melek akan hukum, kasus kriminalisasi ataupun salah tangkap tidak akan terjadi.
Alasan terjadinya konflik horizontal antar pendukung calon juga tidak bisa diterima. Bila asalan itu dijadikan, maka Indonesia tidak akan pernah maju.
Sejauh ini, munculnya konflik horizontal di tingkat daerah juga belum skala besar. Masih bisa pihak kepolisan mengantisipasinya.
Konflik horizontal bisa dicegah dengan memberikan pendidikan politik ke masyarakat. Kedewasaan masyarakat dalam berpolitik juga akan semakin tinggi. Selain itu, pihak penyelanggaran Pilkada, KPU maupun Panwaslu juga memang harus bekerja secara independen dan adil. Tak memihak salah satu calon. Bila itu sudah dilakukan, konflik horizontal bisa dicegah.
Jadi alasan untuk mengembalikan pemilihan kepala daerah ke DPRD yang diusung parpol koalisi Merah Putih tidak masuk akal. TIDAK BISA DITERIMA. Wajar saja, banyak pihak menduga, koalisi Merah Putih ingin mengusai kepala - kepala daerah.
Sekali lagi saya katakan, saya bukan pendukung Jokowi ataupun PDIP ataupun koalisi Indonesia Hebat - pendukung pasangan Jokowi - Jusuf Kalla. Tapi saya pendukung demokrasi. Tidak ingin demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran.
Selain itu, amat konstitusi Indonesia, UUD 1945 juga sudah menyebutkan rakyatlah yang berhak memilih kepala negara dan kepala daerah. Banyak pasal di UUD 1945 yang menyebutkannya hal demikian.
Sehingga manuver parpol koalisi Merah Putih sudah meresahkan masyarakat. Masyarakt yang sudah melek demokrasi dan politik. Siapa saja yang pro demokrasi pasti tidak akan setuju dengan langkah Parpol koalisi Merah Putih terkait Rancangan Undang  Undang Pemilihan Kepala Daerah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline