Penulis sangat merasa bersyukur bisa menginjakkan kaki di Kabupaten Kepulauan Yapen. Merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Papua, kabupaten yang beribukota Serui ini dulunya bernama Kabupaten Yapen Waropen. Namun sejak tahun 2008 berganti nama menjadi Kabupaten Kepulauan Yapen (www.id.wikipedia.org). Secara geografis, Kabupaten Kepulauan Yapen terletak di sebelah utara Teluk Cenderawasih.
Dari Jakarta, Kabupaten ini dapat diakses melalui jalur udara via Makassar lanjut ke Biak. Penulis kebetulan naik pesawat Garuda yang berangkat dari Jakarta sekitar pukul 21.00 WIB. Setelah menempuh perjalanan selama 2 jam, akhirnya pesawat mendarat di Makassar dan transit sekitar 45 menit sebelum melanjutkan perjalanan ke Biak. Pagi sudah menjelang ketika pesawat yang penulis tumpangi menjejakkkan rodanya dengan mulus di Bandara Frans Kaisiepo Biak.
Tidak lengkap rasanya kalau belum berfoto didepan tulisan 'BIAK', jadi mejeng sejenak ya.
Perjalanan dari Biak ke Serui dapat dilanjutkan dengan moda transportasi udara atau laut. Penulis naik Trigana Air dengan membayar sekitar 600 ribuan. Penerbangan dari Bandara Frans Kaisiepo Biak ke Bandara Stevanus Rumbewas Serui hanya ditempuh sekitar 20 menit.
Pesawat terbang rendah, pemandangan yang dapat dinikmati melalui jendela pesawat sangat indah. Laut nan biru memanjakan mata selama perjalanan. Belum puas mata menikmati keindahan lautnya, pesawat sudah mendarat di lapangan udara Stevanus Rumbewas.
Perjalanan dari bandara ke kota Seruai ditempuh sekitar 45 menit. Sepanjang perjalanan mata dimanjakan dengan suasana alam yang masih asri. Sekitar 15 menit sebelum masuk kota Seruai, meneloh ke sebelah kanan, penulis disuguhi dengan sebuah pemandangan teluk atau lebih tepatnya telaga, yang sangat luar biasa.
Air di teluk berwarna biru kehijauan yang dikelilingi oleh pepohonan yang asri dan rindang. Karena ada urusan penting yang harus segera dituntaskan di kota Seruai, penulis tidak sempat singgah menikmati keindahan teluk nan biru tersebut pada hari itu. Tapi berjanji akan mengunjunginya besok hari
Tak sabar rasanya menunggu besok. Dari kota Serui ke Sarawandori ditempuh sekitar 15 menit. Menyusuri tebing pantai, kita disuguhi pemandangan indah dan menawan. Telaga ini sesungguhnya bernama Teluk Pamoi. Tapi lebih termasyhur dengan sebutan Telaga Sarawandori, mengacu pada nama kampung yang tempat dimana telaga ini berada.
Selanjutnya mobil yang kami tompangi memasuki kawasan Teluk Pamoi. Sebuah tempat parkir kendaraan yang lumayan luas dilengkapi dengan beberapa gazebo untuk bersantai tekah tersedia di sini. Setelah berfoto sampai puas, kami memutuskan menyewa sebuah perahu jukung untuk menyusuri Telaga Sarawandori. Biaya sewa perahu jukung di sini tergolong sangat murah. Kami hanya perlu membayar 60 ribu rupiah untuk menyusuri Telaga Sarawandori dengan waktu sekitar 45 menit.
Teluk Sarawandori mirip seperti teluk yang dijepit oleh dua tanjung yang menyisakan celah dengan lebar sekitar 50 meter, sehingga mirip seperti jam pasir yang menyempit di tengah-tengahnya. Kedua tanjung itu tampak bagai gerbang yang menyembunyikan telaga. Saya menduga air di Telaga Sarawandori mungkin sudah 'terjebak' di sana sejak ribuan atau jutaan tahun yang lalu.
Air laut yang bening berwarna kehijauan membuat kita betah berlama-lama menghabiskan waktu di sana. Kami menyusuri semua sudut telaga dengan perahu jukung. Permukaan airnya sangat tenang, tidak ada ombak sama sekali. Ingin rasanya menceburkan diri berenang di sana. Sebuah pemandangan dan pengalaman yang tidak akan terlupakan. Panasnya sengatan matahari tidak kami rasakan. Kalah oleh indahnya Telaga Sarawandori.