"Kamu selalu berpikir seolah semua gadis yang dekat denganku adalah pacarku. Atau paling tidak kujadikan mainan..." kata Abi.
"Aku tak pernah berpikir begitu. Itu hanya tuduhanmu..."
"Kata-katamu tadi. Nanti di Kuala Lumpur aku akan menemukan banyak gadis dan mungkin ada yang kujadikan pacar..."
"Selama ini, bukankah banyak pacarmu? Berganti-ganti?"
"Apakah selama ini aku menjadikan dirimu pacarku? Bukankah kita sangat dekat dan hampir selalu bersama?"
Dewi terdiam. Ditatapnya mata Abi dengan tajam. Hatinya bergelombang. Antara kesedihan dan kemarahan. Mengapa Abi tega bicara begitu di saat aku akan pergi jauh? Mengapa omongan itu harus keluar dari bibir cowok yang selama ini selalu bersamaku? Selalu kukagumi? Yang membuat aku selalu ingin bersamanya, meski tanpa status pacar atau apapun? Mengapa Abi tega bicara begitu?
Kemudian, katanya, "Karena aku bukan gadis yang pantas menjadi kekasihmu. Karena aku bukan seleramu. Karena aku tak masuk kriteria yang pantas menjadi kekasihmu!"
Dewi berdiri. Gejolak di dadanya tak bisa dibendungnya. Dia sangat ingin, ingin sekali, Abi mengatakan cinta padanya. Seperti yang mungkin dikatakannya kepada banyak gadisnya. Meski dia tahu bahwa tak ada gadis yang lama dipacarinya. Kata Abi, "Mereka bukan kekasihku, hanya pacar". Tak ada yang bisa dijadikan kekasih, menurut Abi, karena kekasih dan pacar itu beda pemahamannya.
Sebelum gadis itu melangkah, Abi sudah memegang lengannya. "Duduklah, nggak enak. Banyak orang yang melihat kita..." Mendengar suara lunak itu, hati Dewi luluh. Dia akhirnya duduk, tetapi dengan wajah ditekuk. Marah, jengkel...
"Aku tak bermasud begitu. Aku berpikir begini. Aku banyak dekat dengan banyak gadis. Anggaplah dia menjadi pacarku. Aku orangnya pembosan, kalau aku tak suka dengan tabiatnya, tak suka dengan gayanya, tak cocok di beberapa hal, aku langsung memutuskan hubungan kami..."
"Lalu, apa hubungannya dengan aku?" tanya Dewi masih dengan nada jengkel.