Saat ini pemerintah telah mengajukan ke DPR Rancangan Undang-Undang (RUU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang merupakan perubahan kelima atas Undang-Undang tersebut. Bila prosesnya lancar RUU ini akan menjadi Undang-Undang yang akan menjadi dasar operasional perpajakan Indonesia yang baru.
Ada yang beda dan istimewa dari perubahan UU KUP yang diajukan pemerintah kali ini dibanding perubahan-perubahan yang lalu. Apakah yang beda dan istimewa itu, tidak lain adalah amanah pembentukan lembaga baru pengganti Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Pemerintah mulai menyadari pentingnya otoritas pajak yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan pencapaian penerimaan pajak yang kian lama kian besar dan berat. Tidak cukup lagi lembaga yang bertanggung jawab terhadap pencapaian target pajak yang merupakan tulang punggung penerimaan negara hanya ditangani oleh instansi setingkat eselon I di sebuah kementerian. Sang tiang yang kecil yang harus menahan pasak yang makin berat dan banyak harus digantikan dengan yang lebih besar dan kokoh agar tidak ambruk bangunan itu.
Namun sayangnya lembaga baru yang diusulkan pemerintah kurang menggigit dan meyakinkan untuk mendukung terbentuknya sebuah otoritas pajak yang kuat. Pemerintah mengusulkan pengganti DJP hanya sebuah Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK).
Sebagaimana yang disampaikan para ahli perpajakan, otoritas perpajakan yang kuat yaitu otoritas pajak yang otonom yang mempunyai kewenangan atau fleksibilitas di berbagai bidang, di mana 3 (tiga) yang vital yaitu kewenangan atau fleksibilitas di bidang Sumber Daya Manusia (SDM), Anggaran, dan Organisasi, yang mana ketiganya belum dimiliki oleh DJP saat ini. Dengan hanya sebuah LPNK maka ketiga kewenangan tersebut tidak akan didapat sebuah otoritas pajak, karena sebuah LPNK seperti halnya DJP merupakan Aparatur Sipil Negara (ASN) yang telah diatur ketat dengan sistem birokrasi yang rumit, berliku-liku, dan sangat lambat.
Otoritas pajak tidak akan bisa mandiri dan independen karena bergantung dari kebijakan dan kehendak institusi lain yang lebih kuat. Seperti untuk perekrutan SDM atau pegawai, otoritas pajak harus mengusulkan melalui jalur hirarki birokrasi ke instansi induknya dan instansi yang mengurusi ASN, yang tidak jarang di setiap jenjang mendapat koreksi dan penolakan. Itupun dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk memperoleh keputusan finalnya, sehingga suatu inisiatif dan inovasi sering kehilangan momentumnya.
Program kerja yang sudah dirancang dengan sangat baik dan mantap akhirnya hanya berantakan karena pihak-pihak lain yang di luar kendali otoritas pajak. Demikian pula di bidang anggaran dan organisasi, setali tiga uang alias tak ada bedanya. Padahal ketiganya merupakan hal yang sangat vital untuk sebuah otoritas pajak, sehingga bila usulan mendapat koreksi atau penolakan apalagi dalam waktu yang sangat lama keputusan finalnya didapat pastilah mempengaruhi kinerja mesin penerimaan pajak menjadi sangat lambat dan sangat jauh dari optimal yang mengakibatkan tidak tercapainya penerimaan.
Dengan demikian otoritas pajak yang kuat haruslah sebuah otoritas pajak yang otonom yang hanya bisa didapat bila otoritas pajak keluar dari birokrasi ASN alias menjadi Non ASN. Dengan menjadi Non ASN, otoritas pajak akan independen dan lebih fleksibel dalam menentukan kebijakannya baik terkait SDM, Anggaran, maupun Organisasi. Setiap kekurangan segera dapat dipenuhi, setiap kendala segera bisa dicarikan solusi, dan setiap tantangan bisa segera diatasi. Demikian pula setiap program bisa dijalankan tanpa kendala berarti, dan otoritas pajak bisa fokus untuk melakukan yang terbaik demi tercapainya target penerimaan pajak yang telah dibebankan demi kemakmuran negeri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H