Lihat ke Halaman Asli

MUI, Ayo dong Berfatwa

Diperbarui: 6 September 2015   07:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau pada suatu kesempatan saya berniat menjual sesuatu kepada anda dan agar niat ini berhasil maka saya akan berupaya “menggoda” ruang kesadaran anda dengan berbagai cara. Bagi kalangan masyarakat umum, apa yang saya lakukan ini dikenal sebagai bentuk penawaran. Sedangkan manusia modern sekolahan lebih mengenal dengan istilah promosi.

Menawarkan atau mempromosikan barang dagangan pada dasarnya boleh dengan model tehnik marketing apa saja. Yang tidak boleh justru kalau ada unsur penipuan yang menimbulkan kerugian bagi pihak pembeli. Kalau mangga yang saya jual adalah mangga yang benar-benar masak di pohon dan terasa manis, kemudian untuk menarik minat pembeli saya mempromosikan dan mengemasnya sedemikian rupa berdasarkan kenyataan yang ada, maka apa yang saya lakukan ini tidaklah bermasalah.

Tapi bila sebaliknya, mangga yang saya jual ternyata mangga muda dan masih terasa kecut, kemudian saya bilang ke calon pembeli kalau ini mangga tua dan terasa manis plus ditambahi kata-kata “pemanis” lainnya, maka cara saya berjualan ini sudah tidak baik. Cara berjualan seperti ini tidak sehat secara sosial. Hukum Islam dalam bab transaksi jual beli akan memvonis tehnik berjualan seperti ini haram hukumnya karena ada unsur penipuan.

Sekarang, cobalah tebarkan pandangan anda dan fokuskan perhatian walau sebentar ke televisi yang ada di ruang tamu atau kamar tidur anda. Perhatikan baik-baik deretan taburan iklan-iklan yang menawarkan beraneka macam jenis barang itu. Menurut anda, apakah yang dikatakan oleh si bintang iklan benar-benar nyata adanya terkait apa yang mereka promosikan? Apakah kalau meminum minuman yang ditawarkan itu akan langsung seperti yang mereka ucapkan? Apakah setelah memakai produk yang ditawarkan akan langsung juga menjadi seperti yang mereka sampaikan?

Menurut anda, kira-kira berapa prosentase tingkat kebenaran dari apa yang diucapkan dengan kenyataan yang ada? Apakah kata-kata promosi itu benar-benar menggambarkan kualitas manfaat dari barang yang dijual? Apakah ada jaminan bahwa setiap kata-kata promosi itu benar-benar sesuai dengan kenyataan?

Kalau saya menjual mangga kecut tapi ketika mempromosikan dagangan kemudian saya bilang mangga ini manis, maka saya harus ditegur dan diperingati. Kalau saya bilang ke calon pembeli setelah makan mangga yang saya jual mereka akan nampak lebih segar, lebih sehat, atau lebih gaul maka ustadz, kiai, alim ulama dan penjaga-penjaga nilai kehidupan yang lain tidak boleh hanya berpangku tangan. Sudah sangat pantas pula bila Majelis Ulama Indonesia (MUI) berfatwa haram. Fatwa haram MUI atas tehnik saya berjualan yang penuh unsur penipuan sangat diperlukan karena bisa menyelamatkan puluhan, ratusan, ribuan bahkan jutaan calon konsumen.

Tentu saja yang dimaksud “saya” di sini bukanlah saya secara pribadi. Tapi yang dimaksud “saya” adalah perusahaan-perusahaanindustri yang menggunakan media massa –televisi- sebagai wasilah promosi serta memakai artis sebagai aktor promosi. Kini, sudah berapa banyak orang yang menjadi korban hasutan iklan?Berapa banyak anak-anak muda di negeri ini yang dirusak mentalnya sehingga membeli sesuatu bukan karena mereka butuh tapi karena ingin seperti yang diiklankan itu?

Tapi, entah kenapa masih saja MUI berdiam diri tak berfatwa apa-apa?Bukankah MUI sebagai salah satu unsur “penjaga gawang” nilai-nilai Islam sudah selayaknya melibatkan diri ke segenap lapisan persoalan masyarakat agar keberadaannya menebarkanrahmatan lil’alamiin?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline