Lihat ke Halaman Asli

Puasa, I’tikaf dan Idul Fitri

Diperbarui: 12 Juli 2015   08:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kalau mau jujur, sebenarnya lebih mudah hidup menjadi ayam ketimbang menjalani hidup sebagai manusia. Sebabnya sederhana. Ayam tak punya kemampuan dan kesempatan untuk menjadi selain ayam. Ayam, bagaimanapun ia hidup, ia akan selalu berada dalam lingkaran kodrat kemahlukannya sebagai ayam. Ayam tak akan pernah bisa melanggar “statusnya” sebagai ayam.

Tapi berbeda dengan manusia. Meskipun manusia telah dikaruniai bekal berupa akal, nafsu dan hati sebagai modal kemahlukannya, tapi di sepanjang perjalanan usianya manusia berpotensi untuk melanggar kodratnya sebagai khalifatullah. Maksudnya, rentang jarak dua belas putaran purnama memungkinkan manusia menjalani garis kehidupannya melenceng jauh dari konsep awal penciptaan.

Padahal, tak ada satu pun manusia yang lahir ke dunia atas keinginannya sendiri. Di balik setiap kelahiran manusia, sudah pasti berangkat dari mau, niat dan konsep Tuhan. Pendek kata, Tuhan pasti punya mau untuk apa setiap menciptakan manusia hidup? Maka idealnya, manusia hidup dan menjalani kehidupannya seperti yang dimaui Tuhan, bukan atas dasar selera pribadi yang bersumber pada rasa suka dan ingin.

Disinilah letak pentingnya idul fitri. Idul fitri itu secara bahasa berarti “kembali ke fitrah” atau “kembali ke asli”. Idul fitri merupakan puncak penemuan kembali diri manusia yang asli sebagaimana diinginkan Tuhan. Tapi, karena mauNya Tuhan itu bersifat misteri dan tapal batas maksimal pengetahuan manusia hanya sekedar menerka-nerka sehingga meskipun manusia telah beridul fitri berkali-kali, sudah pasti tidak ada satu pun manusia yang betul-betul tahu apa mauNya Tuhan menciptakannya. Maka proses pencarian kefitrian diri diperlukan semacam pengulangan yang bersifat rutin. Pada konteks inilah ritual tahunan idul fitri menemukan garis relevansinya sebagai disiplin intelektual dan spiritual.

Idul fitri itu salah satu produk dari tarikat puasa Ramadhan. Karena itu, bagi yang tidak berpuasa ya mbok nggak usah bersusah payah membeli baju lebaran segala untuk sekedar memeriahkan Hari Raya Idul Fitri. Tapi tidak semua orang yang berpuasa bisa berjumpa dengan kefitrian dirinya. Apalagi yang sekedar berpuasa dari makan minum. Memang pada tataran harfiahnya, puasa bermakna menahan. Tapi alangkah sederhananya konsep puasa bila yang ditahan hanya sekedar lapar dan haus.

Karena itu diperlukan lagi tradisi i’tikaf. I’tikaf berasal dari kata i’takafa-ya’takifu-i’tikaafan yang salah satu artinya adalah berdiam diri. Berdiam diri di dalam masjid sebenarnya hanya berfungsi sebagai “petunjuk teknis” untuk kembali pada makna diam dan mendiamkan diri dalam arti yang lebih hakiki. Bukan sekedar diam dalam arti fisik semata.

Dengan begitu, i’tikaf menjadi semacam aktifitas batin untuk mengambil “jarak” dari rutinitas hidup sehari-hari. Sekaligus juga menjadi suatu upaya menjernihkan ruhani guna menakar diri dalam konteks abdullah dan khalifatullah. Memang secara umum setiap manusa diciptakan untuk menjadi khalifahNya. Tapi masak iya sih perbedaan sidik jari, bakat, minat, jenis kelamin, kemampuan dan lainnya tidak menyebabkan perbedaan tugas, peran dan tanggung jawab kehambaan. Maka benar bila manusia yang telah beridul fitri adalah minal a’idzin wal faizin, suatu golongan manusia yang beruntung.

 

 

 

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline