Lihat ke Halaman Asli

Syair Kehidupan Si Pedagang Ikan

Diperbarui: 24 Juni 2015   01:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Syair Kehidupan si Pedagang Ikan

Namanya Pak Sunar. Seorang laki-laki yang di usia senjanya masih harus bekerja keras untuk mencari nafkah. Setiap ba’dha maghrib, Pak Sunar selalu lewat depan rumah dan menawarkan ikan pindang atau tuna yang baru saja dibelinya dari seorang pedagang besar untuk kemudian dia tawarkan dari rumah ke rumah.

Pada suatu ketika, setelah ibu saya beli ikan, saya ngobrol agak lama dengan Pak Sunar. Tanpa disangka, ketika dia hendak pergi, dia bilang, “nak, laba itu tidak ada banyaknya”. Sontak, saya pun terkaget dengan pernyataan Pak Sunar yang kelihatan begitu sangat sederhana namun bagi saya sarat makna. Saya kaget karena saya ini anak seorang pedagang dan terbiasa pula bantu orang tua jualan. Barangkali kata-kata inilah yang menyebabkan Pak Sunar mau menjual ikannya lebih murah dari pedagang-pedagang kecil lainnya. Dengan kata lain, Pak Sunar telah membatasi dirinya dalam mengambil laba.

Padahal, ketika saya jualan, saya menggunakan teori transaksi ekonomi yang saya peroleh dikala sekolah dulu. Prinsip berdagang adalah, dengan modal sekecil-kecilnya harus memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Dengan prinsip ini, saya diajari bagaimana memanjakan dan melampiaskan rasa cinta pada uang yang seluas-luasnya. Bentuk nyata dari pelampiasan rasa cinta uang yang berlebihan bisa dilihat dari tidak adanya batasan dalam memperoleh laba.

Tapi berbeda dengan nasehat Pak Sunar. Pernyataannya yang sangat sederhana itu telah mengajari saya untuk belajar mengendalikan rasa cinta yang berlebihan pada uang. Saya diajari untuk belajar menahan diri.

Saya pun kemudian jadi teringat dengan konsep ibadah puasa. Sejauh apa yang saya pahami, puasa itu bermakna menahan. Memang dalam tataran praktis empirisnya yang paling sederhana, puasa itu harus menahan untuk tidak makan, minum dan berhubungan badan. Namun, dalam konteks substansi yang lebih luas, ajaran menahan dari ibadah puasa tidak hanya berhenti dari menahan yang sifatnya fisik semata.

Saya punya keyakinan bahwa bias hakekat makna dari setiap ibadah ritual -termasuk puasa- tidak hanya berhenti pada tahap pelaksanaan saja. Karena kalau demikian adanya, maka setiap ibadah ritual terputus hubungannya dengan sendi-sendi kehidupan. Ia berdiri sendiri dan tak ada kaitannya sama sekali dengan cara orang menjalani hidup.

Maka dari itu, saya punya keyakinan bahwa efek moral dari setiap ibadah ritual pasti berhubungan langsung dengan segala aktivitas kehidupan sehari-hari di luar pelaksanaan ibadah ritual itu sendiri. Berangkat dari keyakinan ini, saya mulai menafsir-nafsirkan barang kali pada titik inilah sholat itu memang mampu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.

Contoh lain seperti Puasa Ramadhan misalnya. Kalau makna puasa hanya menahan diri di bulan Ramadhan saja, maka orang yang berpuasa hanya ketika itu saja. Padahal, kemampuan berpuasa harus bisa diaplikasikan dalam setiap peristiwa kehidupan. Ketika kita mampu menahan diri untuk tidak mau mengambil uang milik orang lain walau sudah tersedia peluang, maka pada saat itulah kita sedang berpuasa secara subtansial. Jadi, ibadah puasa itu hakekatnya merupakan semacam metode hidup yang bertitik tekan pada pengendalian diri dalam situasi hidup apapun di luar Ramadhan. Ini menurut keyakinan saya.

Dan Pak Sunar seperti yang saya ceritakan di atas telah mengajari saya untuk bisa menahan diri untuk memperoleh laba sebanyak-banyaknya. Dengan cara berdagang model ini, sepertinya Pak Sunar ingin mengajari saya untuk memasukkan nilai-nilai kemanusiaan dalam berjualan.

Pernyataan Pak Sunar sangat bertentangan dengan ilmu ekonomi yang saya pelajari di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial ketika kelas 3 SMA dulu. Suatu teori dimana dalam berjualan, laba yang banyak adalah hal yang paling diutamakan di atas apapun. Inilah yang kemudian hari saya kenal sebagai bagian dari dunia kapitalisme.

Bagi orang lain, Pak Sunar, seorang pedagang ikan yang setiap malam harus menggenjot sepeda pencalnya ribuan meter mungkin bukanlah siapa-siapa. Tapi bagi saya, beliau bukan orang biasa. Saya ini bukanlah siapa-siapa, tapi untuk mengakui Pak Sunar sebagai guru saya, saya pikir tidak perlu menunggu saya menjadi siapa dulu. Maka dengan tulisan ini saya ingin berterima kasih kepada Tuhan karena telah mempertemukan saya dengan Pak Sunar malam itu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline