Lihat ke Halaman Asli

Sebelah Mata

Diperbarui: 24 Juni 2015   16:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

INGAT gambar patung seorang perempuan dengan kedua mata tertutup sehelai kain, di tangan kirinya ada timbangan yang seimbang dan di tangan kanannya ada pedang terhunus? Dia adalah Themis, legenda Yunani menyebutnya sebagai Dewi Keadilan.

Themis sesungguhnya adalah cara orang dahulu mengungkapkan harapan pada tegaknya keadilan. Dalam bayangan mereka, Sang penegak keadilan haruslah menutup mata, tidak memandang dengan sebelah mata, apalagi main mata dengan pihak-pihak yang membutuhkan keputusan hukum. Dia harus menimbang dengan seadil-adilnya dan pedangnya siap menebas, menjatuhkan eksekusi. Tetap dengan mata tertutup. Tak terpengaruh oleh subjektivitas.

Sesungguhnya itu pula fitrah manusia. Keadilan adalah kebutuhan asasi manusia. Manakala tak terpenuhi, ada rasa teraniaya. Rasa ini pula, yang sejarah mencatatnya menjadi energi perubahan. Tak terhitung berapa banyak penguasa yang tumbang karena tak memperlakukan rakyat dengan adil. Mereka bisa tumbang karena energi perlawanan tadi. Bisa pula karena kemarahan Tuhan, Sang Maha Adil.

Sejarah hari-hari belakangan ini mencatat bahwa para penegak hukum di negeri ini tak memakai penutup matanya. Mereka bermain mata dan mengabaikan keadilan. Meski pandai bermain kata untuk menutupi ketidakadilan yang mereka ciptakan, tetapi "rasa" itu makin kental mengusik kehidupan.

Sebut saja satu persatu kasus-kasus hukum belakangan ini yang mengusik rasa keadilan. Sekadar mengingatkan, ketika mobil yang dikendarai Rasyid Rajasa menabrak kendaraan lain hingga menewaskan sejumlah orang, polisi tak pernah menahan anak sang Menko ini. Tetapi, polisi dengan sangat sigap menahan Jamal bin Syamsuri, sopir angkot yang penumpangnya tewas karena melompat dari angkotnya yang sedang melaju.

Bukan cuma polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pun berkelakuan mirip. Ridwan Hakim yang telanjur pergi ke Turki sebelum dicekal pun dipaksa pulang hanya demi diperiksa sebagai saksi. Sementara untuk memeriksa Sri Mulyani, KPK dengan sangat rela bersiap-siap berangkat ke Washington DC untuk merunduk-runduk mendatanginya.

Masih belum pupus pula dari ingatan, Presiden PKS, Luthfi Hasan Ishaaq dalam hitungan 3 jam sejak dinyatakan sebagai tersangka, langsung dijemput KPK dan dijebloskan ke dalam tahanan. Sementara publik bisa melihat Andi Mallarangeng, Anas Urbaningrum dan Rusli Zaenal yang sama-sama sudah menjadi tersangka tetapi tak kunjung dijemput dan dijebloskan ke tahanan.

Penegak hukum di semua level seolah berlomba mempertontonkan perilaku tak adil. Rachmat Yasin, Bupati Bogor, dijadikan tersangka oleh Panwaslu karena ikut berkampanye tanpa izin dari Mendagri. Sementara Gubernur DKI, Jokowi yang nyata-nyata juga tak mengantongi izin untuk berkampanye di periode dan Pilkada yang sama, sampai saat ini masih melenggang bebas tanpa atribut tersangka.

Terlalu panjang daftar perilaku tak adil dan main mata yang dipertontonkan para pemegang pedang keadilan di negeri ini. Waspadalah, energi perlawanan kini terus membesar. Dan pada akhirnya akan berbalik melibas mereka yang tak berlaku adil. Sayangnya, seringkali pembalasan itu pun berlangsung dengan tidak adil pula.

Wallahu a'lam

sumber

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline