Lihat ke Halaman Asli

Proyek Teror, Bacile dan Rohis

Diperbarui: 24 Juni 2015   23:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

SIAPA sesungguhnya yang layak diberi stempel sebagai teroris? Dari mana ia berasal? Apa yang menyebabkannya lahir?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut berkecamuk di benak banyak orang berhari-hari belakangan ini. Lihat saja kasus penyerangan atas konsulat AS di Benghazi, Libya yang menewaskan Duta Besar AS di sana.

Para penyerbu konsulat, pantas disebut sebagai teroris. Setidaknya bagi warga konsulat atau bagi AS. Tetapi, kalau mau jernih memandang, sesungguhnya mereka juga korban teror. Mereka adalah korban teror dari aksi bodoh dan gegabah seorang penipu bernama Sam Bacile yang membuat film berjudul Innocence of Muslims.

Tetapi media mainstream dunia mana yang saat ini memberi label "teroris" pada Sam Bacile? Amerika Serikat, sang polisi dunia, pun dengan serta merta menuding gerakan-gerakan jihad berada di balik serangan terhadap konsulatnya di Benghazi. Lalu, dengan gagah AS menyiapkan serangan balasan terhadap kelompok-kelompok "teroris" itu. Sementara terhadap the real terrorist Sam Bacile, AS atas nama kebebasan berpendapat, belum melakukan apapun.

Ada asap ada api. Ada aksi ada reaksi. Itu hukum besi yang berlaku mutlak di belahan manapun di muka bumi. Tinggal apakah kita mau melihatnya dengan subjektivitas pribadi ataukah dengan mata nurani. Bukan malah sembrono menuding pesantren dan organisasi Kerohanian Islam (Rohis) di sekolah-sekolah sebagai ruang pembibitan teroris. Dalam hal ini, Metro TV harus berhati-hati. Sebab, menuding Rohis sebagai tempat rekruitmen teroris justru bisa dianggap sebagai teror oleh para aktivis Rohis, yang kemudian melahirkan teror balasan bagi Metro TV sendiri.

Seringkali, aksi dan reaksi bisa distimulasi. Agar ada aksi "teror" dirancanglah sejumlah skenario yang menguntungkan si pembuat skenario.

Faktanya, isu teror memang bisa jadi proyek yang menguntungkan di sisi "pemburu teroris". Sudah bukan rahasia lagi apa yang membuat AS begitu bernafsu berburu "teroris" di Irak dan Afghanistan. Banyak yang meyakini bahwa runtuhnya WTC dalam peristiwa 11 September adalah bagian dari skenario AS untuk memiliki legalitas dalam aksi perburuan teroris tadi. Tak sedikit pula yang meyakini bahwa Al Qaeda dan Osama bin Laden adalah rekayasa AS sendiri.

Pantas jika sebagian kalangan juga mencurigai maraknya aksi teror di dalam negeri tak lepas dari campur tangan si polisi dunia ini. Tak terhitung banyaknya hajat hidup mereka di sini.

Sebut saja kecurigaan seorang mantan petinggi intelijen, Laksamana TNI Purnawirawan Mulyo Wibisono. Pekan lalu, mantan Komandan Satgas Intel Badan Intelijen Strategis (BAIS) ini bahkan tanpa tedeng aling-aling menyebut ada kemungkinan kemunculan teroris Solo sebagai rekayasa pihak BNPT untuk mendapatkan kucuran dana, dana dari si polisi dunia.

"Kemunculan teroris itu menguntungkan polisi dan BNPT. Mereka mendapatkan keuntungan dari proyek teroris," jelasnya kepada wartawan.

Mulyo menyebut, tiga bulan sebelum terjadinya teror Solo, telah terjadi pertemuan secara tertutup di markas Kopassus Kartosuro antara Direktur Penindakan BNPT, Brigjen (Pol) Petrus R Golose dengan jajaran Dandim, Komandan Kopassus Grup 2, Kapolres se Solo Raya dan dan perwakilan dari Detasemen Khusus (Densus) 88 antiteror.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline