Lihat ke Halaman Asli

Bukan Pesta Pora Sepakbola

Diperbarui: 30 Desember 2021   14:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gambar: pixabay.com

Bangsat. Demikian Sarjito melafalkan kata itu dengan jelas, lantang, dan berkali-kali. Sebenarnya bukan hanya kata itu saja, tapi cukup berisiko jika saya tulis di cerita ini. Bisa-bisa saya dianggap tidak bermoral.

Sebelum lebih jauh, saya kenalkan dulu kawan saya ini. Sarjito itu nama Bapaknya. Dia sendiri bernama Negara Paripurna. Tetapi semenjak SD, kami memanggilnya dengan Sarjito. Walaupun mulanya itu berupa ejekan, tapi lambat laun kebiasaan itu menjadi hal yang wajar. 

Semenjak kecil, Negara Paripurna atau yang biasa dipanggil Sarjito ini bermimpi ingin menjadi tentara. Sayangnya, sebuah kecelakaan membuat kakinya pincang. Pupus sudah impian masa kecil itu. Kini, Sarjito mengabdikan dirinya di pabrik kayu. Semenjak ia lulus sekolah menengah. Walau demikian, jangan tanya jiwa nasionalismenya. 

Malam itu seperti biasanya, saya melepas penat di warung kopi langganan. Kebetulan pula saat itu ada pertandingan final sepak bola. Indonesia lawan Thailand atau Vietnam, saya lupa tepatnya. Karena memang tujuan saya untuk melepas lelah karena seharian harus menguras tenaga di pabrik, jadi saya mulanya tidak peduli.

Saya fokus pada gim catur yang saya mainkan di gawai. Tetapi sial, ketika lagi genting, semua warga penikmat laga final di warkop itu berang. Sebagian mengumpat dengan banyak varian. Ada yang memukul meja. Ada yang memberikan semacam ulasan. Ada yang pesan kopi lagi tetapi nadanya sangat emosional.

Karena Sarjito berada di dekat saya, maka telinga saya dibuatnya sangat panas. Selain kata "bangsat" berkali-kali, ludahnya juga muncrat menghujani saya. Tubuh Sarjito yang besar, membuat saya tidak bisa berbuat banyak. 

"Ini sepak bola apa latihan main bola. Bangsat" demikian kutipan dari cerocosnya yang membombardir telinga. 

"Angkat kepalamu Boy. Lihat itu bola. Nasionalismemu dikalahkan sama setan gepeng. Kafir kamu."

Tentu saya hanya terkekeh saja mendengarnya. Bagaimana kemudian saya dicap kafir gara-gara tidak melihat bola.

Beberapa kesalahan saya lakukan. Yang mulanya memegang kendali, kini serangan lawan akan menewaskan raja yang saya pegang. Ini tentu akibat Sarjito yang mengumbar ludah, khotbah, dan umpatannya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline