Lihat ke Halaman Asli

Cerpen | Garis Tangan

Diperbarui: 2 Maret 2020   17:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ia memegang tangan saya. Membaca garis tangan. Sesekali dahinya berkerut. Sesekali ia bernapas panjang.

Satu jam sebelumnya ia menemui saya. Kata leluhurnya, ada seseorang yang harus diramal. Supaya punya persiapan atas hal-hal yang akan terjadi di masa depan.

"Saya keturunan Gajah Mada." demikian ia mengenalkan diri kali pertama.

Saya tersenyum.

"Maaf, sepertinya kita belum bertemu sebelumnya? Atau saya lupa jika pernah ketemu. Atau jangan-jangan Anda salah orang." ujar saya dengan banyak pertanyaan di kepala.

Saya sering bertemu kawan lama. Yang mulanya tidak ingat. Tiba-tiba saja memeluk. Kadang menjabat tangan. Kadang menepuk bahu. Lalu dari omong-omong itulah akhirnya saya ingat. Harus saya akui, kemampuan ingatan saya terutama pada kenalan di masa lalu sangat buruk.

Saya sruput kopi yang masih hangat itu. Sementara ia duduk di depan saya. Sambil bicara banyak hal. Tentu saya tidak mengerti ujung pangkal pembicaraannya.

"Saya puasa." katanya ketika akan saya pesankan minuman.

"Saya ke sini dituntun leluhur."

Saya mengangguk. Ada banyak cerita tentang penipuan yang saya dengar dari kawan-kawan. Motifnya macam-macam.

"Saya bukan penipu. Saya hanya menjalani apa yang leluhur saya katakan" tukasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline