Sebelum aku meninggalkan kampung kelahiranku, barang sejenak kuhirup udara siang itu. Udara yang sejuk. Aku pasti mengingatnya. Kehidupan selalu menampilkan cara-cara yang susah ditebak.
Harusnya aku masih di sini. Bersama bapak dan ibu. Bersekolah. Membantu Ibu jualan. Membantu bapak di ladang. Namun, roda zaman berputar dengan cepatnya. Putarannya kini melindas keluargaku. Setelah Bapak, kini Ibuku yang berjumpa dengan Allah. Dari piatu menjadi yatim piatu. Sebatang kara. Usiaku beberapa hari lagi menginjak 14 tahun.
Kini, setelah kesedihan dan kenangan mampu kuredam, saatnya aku akan mencari pengalaman baru. Ke Surabaya. Bekerja bareng bulik Romlah. Entah bekerja apa, yang penting hidupku yang masih segini ini tak boleh sia-sia.
Kami berangkat. Naik ojek dari desa. Bukan tukang ojek asli, tapi tetangga yang diminta antar ke terminal. Tentu saja tidak gratis. Lagian siapa mau kalau gratis. Zaman seperti ini, sekekeluargaan model manapun, rupiah tetaplah diperhitungkan.
Aku bersama Lek Satino. Bulik Romlah dengan Cak Sadi. kami berjalan beriringan. melintasi jurang cukup curam. Melewati balai desa. Melewati sekolah SDku. Sampai kemudian kami telah melewati perbatasan desa. Tak kurasa, air mataku rontok. Bepergian jauh, memang tak pernah teradi padaku. Sampai 14 tahun usiaku, paling jauh ya ke pasar Lumajang. Itupun bersama Ibu. maka peristiwa hari itu menjadi yang melodramatis. Ketika sampai di terminal, aku sibuk meneringkan air mata.
"kamu menangis Parti?" suara bulik memcacah telingaku, Keibuan. Aku hanya diam saja. Menenteng tas menuju ruang tunggu. Sebenarnya bukan ruang tunggu yang sempurna. Kami tak masuk ke terminal.
Terminal Minak Koncar merupakan terminal kecil. Penumpang kebanyakan menunggu di pintu ke luar. bahkan bus yang datang dari arah Jember, jarang juga yang masuk terminal. Ini berbeda dengan bus dari arah Surabaya yang selalu atau sebagian besar masuk terminal. Di bus aku lebih banyak diam. Tidur. maklum, pengalaman pertama. Mualnya minta ampun. Pusing. beberapa kali mulutku mengeluarkan cairan. Aku mabuk darat. Bulik menggosok perut dan leherku dengan minyak angin. Biar hangat katanya. Sepanjang perjalanan aku hanya tidur. Mual.--------------------------------------Saat mata ku buka, warna hitam legam berpendar. Sekujur tubuhnya terasa ngilu. Kepalaku, tanganku, kakiku, badan. Beberapa saat pandangan hitam menjadi ambyar. Perlahan warna itu memudar.
"Dok, dia sadar" suara perempuan.
Tiba-tiba bayangan bulik Romlah menguat. Saat mataku sudah benar-benar berfungsi, kudapati diriku berada di sebuah ruang yang mirip rumah sakit. Tidak salah, ini memang rumah sakit. Ruangan ini dipenuhi oleh banyak orang. Kulihat ada yang sesenggukan. Menangis. Berteriak. Aku baru sadar, aku tak mengenakan baju lurik peninggalan Ibu lagi. Baju baru, mirip baju Lek Sudar saat akan operasi dulu. Pikiranku merancau. bayanga Bulik melintas. Sangat dekat.
"Adik, badannya masih sakit?" lelaki berbahu putih menanyaiku sembari tersenyum.
"Ini berapa?" sambil mengacungkan dua jari.
"tiga" kataku lemah.
"Adik istirahat dulu ya. nanti akan saya cek lagi." tanpa menunggu perimbanganku, lelaki senyum indah itu beranjak meninggalkanku. Menjumpai beberapa orang yang terbaring di sebelahku.
"Bus yang mbak tumpangi kecelakaan. Menabrak sebuah truk besar." Seorang perempuan memberitahuku. Informasi ini telak menghujam ke tubuhku yang sudah keok.
Kejadian itu, masih terus membekas di ingatan. Bulik Romlah menjadi korban meninggal, bersama hampir separuh penumpang lainnya. Saat kesehatanku mulai pulih, tak kudapati Bulik. Menurut salah satu perawat, korban meninggal sudah dikirim ke alamat sesuai KTP.
Saat itu, aku lebih memilih meninggalkan rumah sakit tempatku di rawat diam-diam. Tak terbersit keinginan untuk kembali. Kemana kaki melangkah, ke situlah tubuhku mengikuti. Anak perempuan desa, yang tak punya pengalaman sama sekali, berkeliaran di kota sendirian.
Di sebuah jembatan, masih ingat dalam kepala, tubuhku dikeroyok oleh dua lelaki muda. Digerayangi seluruh tubuhku. Baju dan celanaku dilucuti.
Aku hanya bisa menangis. Dua lelaki itu semakin beringas saja. Sampai kemudian, sebuah teriakan dan suara berdebum membuat dua lelaki yang menindihku terlempar.
Pahlawan yang menolongku, membawaku. menjauhi tempat itu. Merawat luka-lukaku. Sehingga suatu saat, dia juga meniduriku. Berkali-kali. Berulang-ulang.
(21/2/2014/ruang kerja)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H