Lihat ke Halaman Asli

Ketika Kenyataan Dituliskan, Maka Cerita akan Abadi

Diperbarui: 22 Oktober 2018   18:38

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ketika kenyataan dituliskan, maka cerita akan abadi.

***

Seperti sebelum ini, saya masih mengharap. Ketika sampai di rumah, berharap ada yang membukakan pintu. Menyuruhku segera menyimpan sepatu di rak. Menyuruhku makan.

***

Hari itu badanku bergetar hebat. Sepanjang perjalanan pikiranku melayang layang. Sesekali aku menoleh ke belakang. jantungku serasa berhenti. Pakdhe-pakdheku wajahnya lesu. Ada ketakbergairahan dari sorot mata mereka. Mungkin, mataku juga demikian. Di luar, hujan tak henti-hentinya mengiringi perjalan kami. Kepalaku berdenyut-denyut. Suara sirine ambulan menambah perjalanan tersebut menjadi perjalanan yang tak pernah terbayangkan sebelumnya.

***

Pagi itu aku dibangunkan Ibu. Seperti biasanya, disuruhnya aku mandi. Makanan sudah siap di meja. Tapi perut menolaknya. Ibu pun menyuruhku mengantar sepupuku jalan-jalan keliling kota. Maklumlah, tujuan sepupuku memang ingin tahu jembatan suramadu. Maka, tak diperintah dua kali, kami berdua langsung berangkat.

Sekitar satu jam kami berputar-putar. Di rumah, kebetulan suasana lagi sepi. Bapkku tidur. Sementara budhe, masih menata baju-baju yang telah dicuci.

"Ibumu rewang nak"

Aku tersenyum.

***

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline