Kadang, apa yang kita impi-impikan berakhir dengan mimpi belaka. Mungkin, itulah yang tengah mendera Badrus. Lelaki yang sehari-hari menjadi tukang parkir di salah satu pusat perbelanjaan di kota X.
Sebuah dompet hitam dalam genggamannya. Badrus ragu. Ia ingin sekali membukanya. Sepintas, bila dilihat dari luar, nampak lembaran seratus ribu berjubel di sana. Dengan uang itu, demikian ia berandai-andai, Badrus akan dapat melunasi tunggakan sekolah anaknya. Mungkin bisa juga membayar kontrakan yang sebentar lagi jatuh tempo.
Sore itu, Badrus pulang seperti biasanya. Sepeda tuanya ia kayuh melintasi bangunan-bangunan megah di pusat kota. Sepuluh menit dari tempatnya bekerja, matanya menancap pada benda hitam yang sekilas seperti dompet. Ia memastikan dengan menghentikan sepedanya. Benar saja. Sebuah dompet. Ia mengambil dengan segera. Memasukkannya ke dalam tas.
"Kita masih punya harga diri Pak. Jangan buka. Serahkan saja pada polisi" ujar Wati. Perempuan itu tetap pada keputusan awal. Menolak mentah-mentah usul suaminya. Panjang lebar sudah ia katakan. Namun, Badrus juga tak mau kalah. Ia yakin bahwa itu sudah rezekinya. Sudah takdir. Maka pertengkaran suami dan istri tersebut tak bisa terhindarkan.
Riko tengah asyik dengan mainan barunya. Ia tentu tak peduli debat kusir kedua orang tuanya. Anak laki-laki yang usianya masih empat tahun itu tengah menyobek-sobek lembaran uang kertas dari dompet hitam di depannya. Tanpa sisa.
Mengantar senja, 29/01/18
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H