Setelah lama merenung, aku akhirnya ambil keputusan. Pagi itu, langsung menemui bosku. Sial. Si botak sedang tidak di tempat.
"Nanti sorean, Pak Handi ada rapat di kantor." ujar si sekretaris. Aku segera menuju meja kerja. Menenggelamkan diriku dengan rutinitas. Merampungkan semuanya.
"Lind.." aku menoleh. Lelaki yang selalu wangi, dengan rambut konsisten disisir ke arah kiri, berdiri di sebelahku. Bibirnya menyunggingkan senyum. Cukup manis. Sedikit mereduksi keruwetan yang membekap kepala.
"Aku mau bicara nih. Empat mata. Sekarang. Ndak pakai nolak." Astaga. Dia langsung meninggalkanku yang bengong. Seharusnya, aku tak harus kaget dengan sikapnya. Setiap kali ada maunya, lelaki itu selalu begitu. Dan, aku suka caranya. Namun, sepertinya pagi itu aku terlalu sentimentil. Sehingga, tak sadar, jika lelaki itu kembali ke mejaku. Membuyarkan lamunan.
"Lind. Kamu tidak harus meninggalkan kantor ini. Setidaknya, semua bisa dibicarakan." Ia menatapku. Tajam.
Aku menghela napas. Aku tahu. Dia pasti akan mengatakan hal ini.
"Maaf Di. Ini keputusan final. Semua harus ada ujungnya."
"Tolong jawab. Kenapa harus dari orang lain aku dengar kamu akan resign?"
"Aku tak tahu.." Suaraku tibatiba bergetar.
"Lind. Libatkan aku dalam hidupmu. Aku mencintaimu. Teramat. Sangat."
Hal yang aku takutkan jika menghadapinya, adalah menangis. Tolol. Mataku sembab.
Aku akan menikah. Calon suamiku, lelaki yang dipilihkan abah untukku, menyuruhku keluar dari pekerjaan. Abah mendukung. Sementara diriku, terlalu lemah untuk menolak. Aku memang lahir dan dibesarkan di keluarga yang menjunjung tinggi kepatuhan pada orang tua.
"Beri waktu ya Bah. Linda pasti resign. Tapi beri waktu." Itu permintaanku pada Abah. Seminggu setelahnya, hati sudah kukuatkan sedemikian rupa. Aku siap keluar dari kantor.
"Lind. Entahlah. Mungkin aku yang selama ini salah menilai diriku sendiri. Mungkin aku hanya terobsesi memilikimu. Sementara mencintai, tidak selalu harus berakhir dengan kepemilikan. Ketika tahu kamu punya calon suami, resahku tidak begini. Begitu kamu hendak pergi dari kantor ini, batin ini sangat tersiksa. Aku tahu. Maaf. Tak ada hak untuk melarangmu." Suaranya bergetar. Aku berusaha memandang ke luar jendela.
"Aku memanggilmu ke sini, mungkin untuk yang terkahir kali, hanya hendak meluruskan satu hal. Milikilah suamimu. Dengan semua cinta yang kamu punya. Lupakanlah aku." Ia mengusap rambutku. Kemudian detak sepatunya, menjauh dariku. Sepi menjalar. Menumpahkan semua airmata yang kutahan sedari tadi.
----
Surabaya
19 Mar 2016 16:43:09