Lihat ke Halaman Asli

Biografi Eks Buruh Pabrik

Diperbarui: 3 Juli 2016   13:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

----
Saya sudah mengambil kesepakatan. Harga mati. Anak saya akan saya tarik dari sekolah. Kebutuhan yang melambung, mau tidak mau harus menyusun prioritas. Biaya sekolah, yang katanya gratis pada mulanya, kini telah perlahan muncul belangnya. Dengan dalih ini itu, biaya biaya berkelindan.
,
"Nak. Kamu sudah besar. Tidak juga badanmu yang semakin tambun. Tapi usiamu. Bapak harus katakan terus terang. Bapak tidak punya banyak uang untuk membayar sekolahmu. Untuk makan saja, kamu kan tahu sendiri. Semenjak Bapak di PHK, semuanya begitu sulit. Kamu sudah mengenyam bangku SMP. Setidaknya itu sudah cukup. Biarlah, adikmu yang bersekolah kini. Tahun depan sudah masuk SD. Dan biayanya, juga tidak sedikit. Meskipun gembor-gembornya gratis. Pendidikan murah dan sebagainya." Ceramahku harus kuakhiri  Anak lanangku menangis. Sesenggukan. Kuraih pundaknya. Kuelus rambut ikalnya. Selebihnya, kami tidak bicara.
,
Istriku meninggal setelah melahirkan Dini Alveruz. Pendarahan hebat. Enam tahun yang lalu. Sampai kini, saya masih menyisakan aroma tubuhnya di rumah ini. Sembari membesarkan Rohman Alveruz dan Dini Alveruz. Kiri kanan sudah lama mendesakku. Untuk mencari pendamping hidup baru. Namun, fokus saya hanya satu. Kerja. Ya. Saya larutkan diriku dengan bekerja sebagai buruh pabrik. Demi masa depan dua buah hati yang piatu.
,
Dipecat atau istilahnya PHK, bukan sebuah impian yang indah. Bahkan, membayangkan saja bikin merinding. Ngeri. Tahun ini, kengerian itu menyapaku. Telak. Setelah mengenang ulang tahun pernikahan dengan mendiang istri, kado pahit kuterima. Saya dipecat. Saya kalah? Tidak. Saya matimatian mencari jalan keluar. Bekerja apa saja. Yang penting halal. Dan menghasilkan. Tentu saja tidak seperti di sinetron. Harapan dan kerja kerasku, harus membentur tembok yang bernama kenyataan.
,
Anak lanangku tersenyum. Setelah lama kami diam. Air matanya mengering.
"Pak. Bapak jangan bersedih. Sekolah ataupun tidak itu tidak mengurangi rasa hormat dan sayangku pada Bapak. Saya ikhlas. Saya sudah besar pak. Sebagaimana besar tubuhku. Bapak tidak usah khawatir." Kutahan bendungan di mata yang sudah mau jebol. Kukuatkan sedemikian rupa. Kutepuk pundaknya. Kutinggalkan dia di kamar. Malam yang sudah larut, kian larat oleh nelangsa yang membekap kepalaku.
----
Krianpetikemas
28 Feb 2016 09:50:19

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline