Lihat ke Halaman Asli

02. Biografi Gerimis yang Menjelma Hujan

Diperbarui: 28 Februari 2016   15:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bijian gerimis yang menjelma hujan hari ini, membuyarkan banyak hal. Pertama, daganganku tidak laku. Perkenalkan, saya penjual es tebu. Bukan satu-satunya es tebu di daerah tempatku tinggal. Saya satu di antara puluhan. Kedua, saat gerimis tiba, jemuran istriku di rumah, tak ada penyelamatnya. Istriku ketiduran. Dan, tidak elok menyalahkan kantuk. Cucian istriku, bukan sekedar cucian saja, ini juga bagaimana nasib ekonomi keluargaku. Istriku bekerja sebagai tukang cuci. Bukan cuci uang. Tapi cuci pakaian. Semua pakaian. Dalam dan juga luar. Sedangkan upah cucian dibayar, bilamana pakaian telah kering. Telah disetrika.

"Jangan menyalahkan gerimis. Baik itu gerimis yang sudah menjadi hujan. Itu namanya tidak menghargai karunia yang kuasa. Tahu sendiri, saat kemarau. Sawah-sawah warga kekurangan air. Gagal panen. Itu berarti nasib mereka menyedihkan." ujar istriku saat kami di beranda. Malam itu. "Kita tak punya sawah. Jadi jika kemarau berkepanjangan, toh tidak masalah. Malahan, es tebuku semakin melejit. Cucianmu juga begitu. Ini namanya tidak adil." Istriku menatapku. Tajam. "Kapan sampean bisa berubah. Bersyukurlah terhadap apa yang kita peroleh." selepas kata-kata itu, dia menuju pintu. Membukanya. Masuk. Pintu kembali tertutup. Sepi.

Hujan, sudah rutin hadir. Tiap hari. Kadang pagi. Kadang sore. Kadang malam. Mau tidak mau, saya dan istri banting stir. Saya berhenti jualan es tebu. Istriku, tidak lagi menerima cucian. Setelah diskusi dengan banyak pertimbangan, kami sepakat jualan gorengan. Kami mangkal di tempat yang sama, saat saya jualan es tebu. "Rezeki sudah ada yang ngatur. Jangan gusar. Jangan bingung. Jangan menyalahkan keadaan. Apalagi menyalahkan yang kuasa." Saya hanya manggut-manggut. Istriku langsung menimpali dengan tausiyah selanjutnya. Lebih panjang.

Betul. Rezeki sudah ada yang ngatur. Jualan gorengan benar-benar berkah. Dagangan selalu ludes. Ote-ote ada. Tahu isi ada. Ketela Goreng ada. Menjes ada. Singkong goreng ada. Petisnya kata pembeli, tiada duanya. Istriku yang buat. Namun, seperti gerimis, masalah baru timbul. Wak Husni mendatangiku malam itu. Saat saya dan istri berkemas-kemas.

"Rezeki sudah ada yang ngatur. Aku percaya itu. Tapi kalian ini benar-benar kurang ajar. Selama ini, hanya ada empat penjual gorengan di sepanjang jalan ini. Penghasilan kami seret. Eh, ditambah kalian lagi. Ini namanya intoleransi. Tidak tenggang rasa. Memang tak ada undang-undang yang melarang kalian jualan gorengan. Tapi jika itu merugikan orang lain, jelas saya tidak terima. Bukankah di musim kemarau kemarin, kalian yang diuntungkan, hah. Berbagi lah. Jangan ambil apa yang sudah aku dan kawan-kawan miliki." Saya dan istri berpandangan. Gerimis, tak lama tiba. Menjelma hujan.

Masjid Baitussalam
hujan lebat-29 Des 2015 16:16:43




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline