Setiap Megawati pidato, rasanya guncang dunia politik. Surya Paloh dengan bersuara lantang masih sekedar tepuk tangan, Prabowo? Teriak-teriak tampang ini itu atau 2030 Indonesia Bubar---dulu---rasanya belum begitu tegang. Begitu Megawati berpidato, misalnya seperti HUT PDIP pada awal tahun 2023, menjadi pembicaraan. Begitu pula dengan pidato hari ini (28/11/2023), menyebut Orde Baru dan kekuatan rakyat, lebih tegang pula rasanya. Nah, yang sudah diketahui dan pasti sering diulang apabila membicarakan Megawati adalah tentang dirinya yang berjuang sejak lama, khususnya era Orde Baru yang sejak terpilih menjadi Ketua Umum PDI pada Kongres Luar Biasa di Surabaya pada 1993 dan Peristiwa Kudatuli, memang bisa dikatakan Megawati adalah 'orang politik' yang kuat dan tangguh---alias bukan kaleng-kaleng.
Tetapi, saking kuatnya PDI yang dipimpin Megawati hingga kabarnya menakutkan bagi Orde Baru---Kudeta Dua Tujuh Juli pun terjadi. Peristiwa Kudatuli tersebutlah yang melahirkan PDIP dan inilah yang kemudian menang besar pada 1999. Apakah dengan ini sudah duduk tenang---menang 30-an persen sama dengan tenang? No! Tetap saja kalah oleh Poros Tengah, mengapa? Kalau mau jawaban yang sedikit lucu, bisa dibaca pada buku Bambang Soesatyo dengan judul Republik Komedi 1/2 Presiden---ia mengutip alasan mengapa PDIP meraih suara terbanyak namun kalah pada 1999? Ya, karena nggak tahu caranya mengelola kekuasaan!
Demikian pula, apa yang terjadi pada 2014. Mungkin, saya seringkali menceritakan Jokowi di awal kekuasaanya menjadi Presiden, ia menjadi minoritas. Bawa Trisakti, bawa revolusi mental atau bawa ini itu, pertanyaannya apakah berhasil setelah sudah mau dua periode menjadi Presiden?
Mengenai berdikari di bidang ekonomi, misalnya? Saya rasa, itu belum terjadi. Kini, ketika usai Gibran dinaikkan, apa ia masih melekat jargon "merakyat" atau misalnya "gorong-gorong"? Salah satu pengamat politik, mengatakan Jokowi yang sekarang adalah 'Machiavellian'---bisa dikatakan mirip-mirip Donald Trump pula. Saya tidak ingin mengatakan Jokowi adalah bayangan tingkah laku Donald Trump yang merupakan simbol "'How Democracies Die", tetapi jangan salahkan pula kalau Jokowi dicap sebagai Neo-Orba dan KKN , karena seorang kawan kecil bernama Gibran ini.
Bagaimanapun, hari ini pertarungan Mega vs Jokowi lebih terasa daripada politik-politik identitas yang mewarnai kadrun versus cebong. Ini akhirnya, menggeser pertarungan Anies, Prabowo dan Ganjar---Surya Paloh apalagi tergeser. Nah, bukan sang calon yang menonjol melainkan siapa yang ada di belakang mereka. Prabowo ada Jokowi, Ganjar ada Megawati dan Anies ada Surya Paloh---Mega dan Jokowi lebih menonjol pertarungannya. Seolah-olah, blunder jawaban Ganjar mengenai penegakan hukum atau performa Anies dalam forum-forum diskusi calon presiden---di CSIS atau UI misalnya--- itu seperti angin belaka, tidak penting---yang penting adalah pertarungan Mega versus Jokowi. Kalau dulu, 2018 ada diskusi mengenai Mega Versus SBY, kini justru Mega versus Jokowi.
Saya sedikit ngeri, apabila nanti King Maker ini bertarung dan setelah usai bertarung atau merebut kekuasaan, mereka bernasib tragis. Masalahnya, sungguh yakin betulkah pemimpin dan calon pemimpin di negeri ini belajar sejarah? Saya pikir, bukan sejarah mengenai kemerdekaan atau mengenai G30S saja. Tetapi, yang penting adalah sejarah politik di bangsa ini terutama soal King Maker ini. Tragis-tragis King Maker itu bisa dibaca saat Soeharto---Pangkostrad yang mengambil alih tindakan untuk membasmi G30S itu---akhirnya menjadi Presiden. Dan, siapa para dibelakang yang mampu menaikkan Soeharto sebagai Presiden? Tritura? Supersemar?
Mungkin, jawaban yang bisa memberikan sedikit pencerahan mengenai King Maker adalah soal tiga King Maker yang mengantarkan Soeharto ke Orde Baru yaitu Jenderal Kemal Idris, Jenderal Dharsono dan Jenderal Sarwo Edhie. Bagaimana nasib ketiganya ketika Soeharto menjadi Presiden? Mereka bernasib amat tragis.
Dan ketiga Jenderal itu merupakan yang membantu Soeharto meraih kekuasaanya. Kemal Idris, orang yang membawa meriam ke Istana pada 17 Oktober 1952 kemudian diperlakukan tidak enak oleh Soekarno lalu diangkat menjadi Pangkostrad oleh Soeharto, Sarwo Edhie adalah komandan RPKAD yang ikut membersihkan PKI pasca G30S dan Dharsono adalah Pangdam Siliwangi yang merupakan salah satu kekuatan anti-Soekarno. Ketiganya, ada yang di "dubeskan" seperti Kemal Idris yang menjadi Dubes Yugoslavia kelak kemudian dikenal "Jenderal Sampah" dan ada pula yang berakhir di penjara---ia adalah Jenderal Dharsono pada peristiwa Tanjung Priok 1984.
Sekarang berandai-andai mengenai Jokowi sendiri, kalau nanti Prabowo-Gibran menang, apakah sudah yakin nasib seorang Jokowi nanti masih baik? Apa ketakutan Jokowi sehingga ia merestui seorang Gibran daripada tunduk kepada partai dalam hal ini PDIP? Apa Jokowi takut IKN tidak dilanjutkan? Padahal, Jokowi sendiri mengatakan itu sudah menjadi Undang-Undang tetapi apa sebenarnya yang mendorong kawan kecil itu tetap maju? Saya masih melihat, hari ini adalah hasil dua periode Jokowi berkuasa daripada saya ribut-ribut soal hukum atau hal yang lainnya. Tidakkah Jokowi berpikir mengenai resiko usai menjadi Presiden? Karena, Jokowi dibanding Megawati yang sudah sejak 1993 adalah sangat jauh dari segi pengalaman.
Apa itu hasilnya? Bisa dilihat saat Koalisi Besar terbentuk---tanpa menggandeng-gandeng PDIP dan hanya menonjolkan Jokowi yang merupakan PDIP, melainkan menggandeng kekuatan lain di Pemerintahan Jokowi selama ini yaitu seperti PAN, Golkar, Gerindra dan partai lainnya yang saat itu bersama Jokowi menamakan dirinya sebagai Koalisi Besar. Saya memiliki keyakinan bahwa selama ini, dominasi PDIP amatlah besar di dalam Pemerintahan Jokowi. Sebenarnya wajar saja. Toh, pemegang saham terbesar pula yaitu menjadi partai pengusung Jokowi.
Tetapi, bergabungnya Prabowo dengan Jokowi di periode kedua, sepertinya Jokowi memiliki pegangan baru yang mungkin sedikit dapat diandalkan namun Jokowi sendiri tidak memiliki saham---sama seperti Bung Karno dulu, ia tak memiliki saham partai yang begitu dominan dalam menjalankan pemerintahannya melainkan menyatukan itu dengan gagasan Nasakom yang berakhir tragis. Lihat saja, Prabowo pun seperti tak ganas dengan Gerindra-nya namun dengan Jokowi-nya yang menggunakan embel-embel "Indonesia Maju" bukan menggunakan gagasan seperti 2014 yaitu Trisaksi atau Revolusi Mental.