Sebagai anak pertama, saya selalu disuruh membantu keluarga termasuk menyiapkan sarapan hingga menyeduh kopi untuk orang tua. Sejak kecil, orang tua selalu menyuruhku untuk meminum kopi walau hanya setengah gelas atau berbagi dengan ibu. Untuk bapak, biasanya dikhususkan satu gelas sendiri. Saat menyeduh kopi, saya selalu kesulitan membuat racikan kopi dan gula, termasuk takaran air. Bila tidak pas, hasil racikan juga tidak akan enak. Alhasil, bapak atau ibu selalu marah bila mengetahui racikanku tak pas. “Kamu ini selalu tidak pas kalau membuat kopi,” kata Ibuku. Sejak itu, ibuku selalu memberi tahu takaran gula, kopi, dan air untuk membuat secangkir kopi yang nikmat. Pengalaman itu ku bawa sampai ke kuliah. Saat begadang tugas kampus, teman-teman selalu menyuguhkan kopi sambil ditemani camilan ringan. Namun karena sudah terbiasa mandiri, saya pun juga terbiasa ke pasar, termasuk ke minimarket sendiri untuk membeli kebutuhan sehari-hari, termasuk membeli kopi. Urusan berbelanja, saya mewarisi sikap pelit dari Ibu. Selisih Rp 1.000 saja, saya akan mencoba mencari produk dengan harga lebih murah namun dengan kuantitas lebih banyak. Tentunya, produk tersebut juga harus berkualitas. Tak ingin salah membuat racikan kopi, saat itu saya melihat promo Nescafe yang selalu memberikan hadiah gelas mungil berwarna merah dan hitam. Sesuai instruksinya, bubuk kopi diseduh sesuai ukuran cangkir mungil tersebut. Alhasil, racikan kopi serasa pas. Bila ingin tambah, cukup membuat seduhan lagi. Kopi tersebut biasanya juga sudah diberi campuran gula. Kalau kurang manis, cukup tambah gula lagi. Kalau tidak ingin kopi manis, cukup beli Nescafe Classic. Kini, saya lebih menyukai beberapa varian rasa Nescafe yang kalengan. Lebih praktis dan segar dengan kadar kafein yang tidak tinggi. Jadi tidak akan menahan tidur seharian. Yang lebih unik, bentuk wadah kopi Nescafe yang lucu. Jika kopi sudah habis, biasanya dipakai ibu untuk menaruh bumbu dapur. Wadah yang berguna. Saat bekerja, pertama kali saya diajak ke Aceh, termasuk mengunjungi bekas-bekas tsunami sekaligus mencicipi makanan atau minuman khasnya. Saat itu, saya diberikan oleh-oleh ayam rempah dan kopi Aceh. Penasaran dengan kopinya, saya pun menyeduh seperti kopi biasa. Untuk pertama kalinya, saya tidak bisa tidur seharian hanya karena menyeduh satu gelas kopi Aceh tersebut. “Kopi itu sudah dicampur ganja. Efeknya bisa tahan kantuk seharian,” kata temanku. Entah benar atau tidak, kopi Aceh dikabarkan ada campuran ganjanya. Namun dari berbagai literatur, kopi memang mengandung kafein dan memiliki zat trymetilsantin. Zat ini akan menstimulir pusat syaraf reseptor adenosin. Saat simpul syarat terangsang, otomatis memacu katabolisme dan memicu hormon adrenalin. Hormon inilah yang memacu tubuh kita tetap semangat dan tidak bisa mengantuk untuk sementara waktu. Saking sukanya pada kopi, saya pun membuat nama pribadi pada akun media sosial dan email yang tetap mengacu pada nama dan kopi. Didik Purwanto disingkat menjadi Dito dan mengambil nama minuman cappuccino sebagai nama belakang. Jadilah ditopuccino. Biar seperti anak kekini-kinian gitu lah. Haha.. Kini, bila sedang senggang, saya biasa menyempatkan diri ke kedai kopi, sembari menulis atau sekadar bercengkerama dengan teman. “Lebih sering mendengar teman curhat,” kenangku sambil ditraktir kopi cappuccino favoritku. Dibaliksecangkirkopi, Kopi telah mengantarkanku mengingat keluarga, terutama mengingat ocehan ibu dan pujian bapakku. Termasuk mengenang perjalanan ke beberapa destinasi wisata dan menemani kesuksesan kehidupanku. Dibaliksecangkirkopi, saya selalu mendengar pengalaman pahit dan manis dari hidup seseorang. Sama seperti hidup, kopi juga bisa diracik manis atau pahit, sama seperti kehidupan kita yang bisa kita atur pahit atau manis. Selamat menikmati hidup. Selamat menikmati kopi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H