Di sekolah tempat saya mengabdi tak semua siswa anak rumahan. Sebab, ada juga siswa tak anak rumahan. Beberapa pernah menjadi anak punk yang kini sudah menjadi anak rumahan.
Ada yang meninggalkan sekolah, yang tentu juga meninggalkan rumah, bergabung ke komunitas anak punk. Baru saja. Dan, ada juga yang mengalami kondisi kurang stabil, saat tertentu bergabung anak punk; saat yang lain menjadi anak rumahan.
Memang jika dibandingkan dengan anak rumahan, yang barangkali sudah merasa aman dan nyaman sebagai siswa, jumlahnya sangat kecil. Tapi, sekalipun sangat kecil, ia adalah anak yang perlu mendapat "dekapan".
Satu siswa kami, yang olehnya (sendiri) dikatakan bahwa dirinya "ketagihan di rumah" setelah sebelumnya menjadi anak punk, kini rajin sekolah. Saat ini ia Kelas VII. Laki-laki. Rumahnya sangat dekat dengan lokasi sekolah.
Anda pasti sudah dapat menduga. Ia diterima di sekolah dalam jalur zonasi. Tapi, tak masalah. Sebab, bagi sebagian siswa, bahkan juga orangtua, ini adalah rezeki. Karena lokasi rumah dekat dengan lokasi sekolah, mereka pasti diterima.
Jalur ini sempat menjadi keroyokan masyarakat. Sampai(-sampai) pada waktu-waktu yang lalu, banyak yang berani melakukan perubahan data kependudukan.
Untung pihak yang berkepentingan peka terhadap realitas buruk ini. Sehingga, ada kebijakan baru yang lebih membangun suasana edukasi bagi masyarakat.
Dengan begitu, anak-anak yang lokasi tempat tinggalnya dekat dengan lokasi sekolah, siapa pun ia, sama-sama mendapat peluang, yang tak terlalu berat berkompetisi jarak karena semua warga asli bukan titipan.
Dan, sekolah tak dapat berbuat apa pun. Sekolah harus menerimanya. Termasuk, sekalipun ia adalah anak punk. Seperti yang di sekolah kami mengalaminya.
Kondisi ini yang sebenarnya ideal bagi sekolah. Sebab, sudah seharusnya sekolah siap mendampingi semua anak. Siswa, yang termasuk anak punk sekalipun, agar dapat memiliki pengalaman belajar yang membawanya ke perubahan.