Sore itu, saya sengaja berkunjung ke rumah teman satu gereja, yang usianya sudah tua. Ia bilang usianya 72 tahun. Saya mempercayainya. Sebab, ditandai dari kondisi fisiknya saja sudah terlihat bahwa tak terlalu jauh melenceng angka usia yang disebutkannya.
Saya sudah sangat lama tak bertemu. Apalagi beberapa waktu, ia tinggal bersama salah satu anaknya perempuan yang sudah berkeluarga, yang tempatnya agak jauh dari rumah sendiri.
Anak perempuan, banyak orang bilang, lebih open (bahasa Jawa: perhatian) ketimbang anak laki-laki. Maka, ia beberapa waktu tinggal bersama anak perempuannya ini.
Tapi, saat saya mengunjunginya, ia sudah berada di rumah sendiri. Biasanya, demikian umumnya kehendak orangtua. Tak mau lama-lama tinggal di rumah orang lain, termasuk di rumah anak. Ingin segera kembali ke rumah sendiri.
Ini menandakan bahwa kasih sayang anak, mungkin juga cucu, ternyata tak mampu mengalahkan kecintaan orangtua terhadap rumah sendiri. Ini kenyataan yang sering saya temukan sekalipun lewat bincang-bincang.
Baik bincang-bincang dengan beberapa orangtua yang pernah saya mintai pendapat tentang hal ini. Maupun, kesaksian beberapa anak yang pernah diikuti oleh orangtuanya.
Teman saya satu gereja yang tinggal di rumah sendiri berarti mengalaminya. Tapi, tak sendirian. Sebab, ada yang membersamainya, yaitu anak laki-laki satu-satunya.
Entah benar entah salah anggapan banyak orang bahwa anak perempuan lebih open daripada anak laki-laki. Sebab, saat saya berkunjung, lelaki lanjut usia (lansia) yang berusia 72 tahun ini memiliki kuku panjang-panjang. Kuku tangan, juga kuku kaki.
Apakah dibiarkan oleh anaknya laki-laki? Atau, jika tinggal bersama anaknya perempuan, kuku-kuku termaksud dipotong alias dirapikan. Secara berkala atau saat ingat saja?
Waktu itu, saya bilang dengan sapaan yang biasa saya gunakan kepadanya, "Mbah (bahasa Jawa: panggilan akrab untuk kakek atau nenek) kuku tangan dan kaki sudah panjang-panjang. Sudah saatnya dipotong." Ia tersenyum. Dan, saya sulit memaknai senyumnya.