Lihat ke Halaman Asli

Sungkowo

TERVERIFIKASI

guru

KUA Inklusi, Laboratorium Toleransi Beragama bagi Anak

Diperbarui: 20 Maret 2024   13:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi diambil dari jurnalpost.com

Gagasan Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas, tentang kantor urusan agama (KUA) yang direncanakan untuk mengoordinasikan urusan semua agama (Kompas.id, 29 Februari 2024), ternyata  masih menjadi diskusi publik.

Sebab, selama ini, kita mafhum bahwa KUA hanya digunakan untuk, misalnya, urusan pernikahan umat Islam. Umat yang lain mengurusnya di kantor Dinas Kependudukan dan  Pencatatan Sipil (Disdukcapil). Jadi, kalau kini, KUA digagas untuk urusan semua agama, ada "sesuatu" yang berubah.

Perubahan, termasuk perubahan KUA untuk urusan semua agama, memungkinkan membawa dampak, baik pro maupun kontra, terutama bagi generasi dewasa.

Sebab, generasi dewasa cenderung memiliki sudut pandang yang berbeda sesuai dengan latar belakang masing-masing. Hal demikian tak sepenuhnya keliru. Sah-sah saja. Apalagi di alam keterbukaan berpikir dan berpendapat seperti saat ini.

Hanya, memang, dipandang dari sudut pandang generasi muda, khususnya anak-anak, gagasan Menteri Agama tersebut justru dapat digunakan sebagai laboratorium (pendidikan) toleransi beragama bagi anak.

Anak-anak yang masih mudah dibentuk, sangat perlu mendapat pengalaman yang dapat membangun sikap mereka terbuka bagi semua. Sebab, faktanya, hidup di masyarakat berhadapan dengan semua yang ada, yang cenderung berbeda satu dengan yang lain.

Terhadap adanya perbedaan, anak diarahkan  dapat menerima. Kalau orang lain berbeda dengannya, misalnya, ada upaya memersuasinya untuk menghargai. Sehingga, anak memandang bahwa berbeda itu boleh, bahkan (perlu) saling menghargai.

Maka, adanya gagasan KUA inklusi (untuk semua agama) akan menjadi ruang pembentuk sikap anak mengenai berbeda itu boleh dan (perlu)  saling menghargai.  

Karena, pada saat tertentu sangat mungkin dapat disaksikannya, misalnya, ada pasangan pengantin yang beragama Islam. Pada saat yang lain dapat dilihatnya ada pasangan pengantin yang beragama Budha. Pada waktu yang lain lagi, dilihatnya pasangan pengantin yang beragama Katolik. Dan, begitu seterusnya, begitu seterusnya.

Keragaman seperti hal di atas dan adanya proses (yang terjadi) yang dapat dilihat di KUA tentu membentuk sikap positif anak terhadap adanya perbedaan itu.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline