Di sekolah tempat saya mengajar, meja siswa dan guru berlaci. Di sekolah yang lain, saya tak mengetahuinya. Tapi, yang pasti, laci meja siswa di sekolah tempat saya mengajar sering menimbulkan masalah.
Sebab, ketika beberapa kali saya memasuki ruang kelas dan meminta siswa untuk melihat dalam laci mejanya, beberapa dari mereka menemukan sampah.
Tak hanya sampah berupa sobekan kertas buku, tapi ditemukan juga plastik bekas bungkus makanan dan permen. Bahkan, kadang gelas dan botol plastik bekas air mineral.
Sekalipun tak semua laci meja siswa dibuangi sampah, ada satu atau dua-tiga laci meja berisi sampah saja sudah (sangat) mengganggu.
Saya menyaksikan sendiri jika tepat pada mejanya ditemukan sampah dan siswa bersangkutan diminta untuk mengambil sampah termaksud, mereka terlihat merasa kurang nyaman.
Ini artinya siswa --tentu semua orang-- tak menyukai sampah yang tak berada di tempatnya, bak sampah, misalnya. Lebih tak menyukai lagi kalau mereka diminta untuk mengambilnya.
Barangkali masih mending jika sampah yang diketemukan dan diambil dalam kondisi kering. Coba kalau sampah yang diketemukan dan diambil dalam kondisi basah, pasti mereka berteriak dalam hati atau menolak dalam diam.
Tapi, mau tak mau, akhirnya mereka mengambilnya juga. Karenanya, mengingatkannya untuk mencuci tangan setelah mengambil sampah dan membuangnya di bak sampah merupakan edukasi kesehatan bagi mereka.
Sebab, yang namanya sampah pasti mengandung kuman. Sehingga, tak sehat jika tangan dibiarkan tanpa dicuci setelah memegangnya. Tentang yang beginian, siswa sering abai. Makanya, guru perlu mengingatkan, bahkan menyuruhnya (segera) mencuci tangan setelah bersentuhan dengan sampah.
Saya sering melakukan prosesi demikian pada awal jam pembelajaran. Artinya, sebelum memulai pembelajaran, pengecekan laci meja dilakukan, ada sampah atau tidak. Dan, mereka yang memegang sampah harus mencuci tangan.