Kini sudah memasuki masa-masa akhir tahun pelajaran. Sesuai kalender pendidikan (kaldik), anak-anak di kelas akhir di tingkatnya masing-masing sedang atau akan menghadapi ujian. Tidak ada ujian nasional (UN), yang ada hanya ujian sekolah (US).
Umumnya, saat-saat seperti itu, anak-anak mengonsentrasikan diri terhadap aktivitas belajar. Misalnya, mengikuti bimbingan belajar (bimbel) ini dan itu. Kadang urung mengikuti kegiatan keagamaan, sosial, dan sejenisnya karena (alasan) belajar.
Seperti yang dialami oleh keponakan saya sendiri yang kini Kelas IX. Beberapa aktivitas di luar belajar, untuk sementara ditinggalkan. Ia mempersiapkan diri menghadapi US di sekolahnya. Ada sebelas mata pelajaran (mapel) yang di-US-kan.
Meskipun begitu, suasananya tidak seheboh ketika UN diberlakukan. Orangtua pun tidak heboh. Tetapi, tentu mereka tidak melepaskan begitu saja anaknya tanpa kontrol. Saya yakin, mereka tetap mengontrol belajar anak-anaknya.
Sebab, tidak ada orangtua yang bahagia tatkala nilai US anaknya buruk. Semua orangtua tentu mengharapkan nilai US anaknya baik. Bahkan, jika memungkinkan berharap anaknya memiliki pencapaian nilai yang terbaik.
Karena, diakui atau tidak, pencapaian nilai anak bagi orangtua berkaitan dengan prestise. Semakin tinggi nilai anak, semakin tinggi juga prestise orangtua, bahkan keluarga. Hal itu terutama dirasakan di lingkungan tempat tinggal dan lingkungan kerja.
Pada masa-masa selesai ujian dan memasuki masa-masa pendaftaran peserta didik baru (PPDB), pencapaian belajar anak sering menjadi bahan percakapan dalam perkumpulan pembinaan kesejahteraan keluarga (PKK) di lingkungan tempat tinggal. Pun demikian, menjadi bahan perbincangan di lingkungan kerja. Apalagi kalau orangtua bekerja di sebuah instansi pemerintah atau institusi publik.
Itu sebabnya, orangtua sering intervensi terlalu dalam terhadap proses belajar anak, terlebih ketika menghadapi ujian.
Perubahan intervensi, yang sebelumnya biasa-biasa saja dan kemudian berubah agak "banyak omong", membuat anak merasa tidak nyaman.
Anak Kelas VI saja yang masih tergolong kecil, tetap merasa terganggu kalau orangtua selalu mengingatkan untuk belajar. Apalagi bagi anak-anak yang lebih besar lagi, Kelas IX dan Kelas XII, misalnya. Mereka pasti merasa resah dan gerah.