Lihat ke Halaman Asli

Sungkowo

TERVERIFIKASI

guru

Pentingnya Menumbuhkan Sikap Toleransi Anak di Sekolah

Diperbarui: 21 April 2022   08:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Saya menjemput si bungsu, Kelas VIII, sebab sudah ada notifikasi di gawai saya. Saya membukanya dan membaca teks: "Jemput yah. Terima kasih". Saya mengendarai motor, menjemputnya.

Saat ia berada di boncengan, ia mengatakan bahwa tadi ia tak mengikuti pelajaran. Katanya, ia bersama pengurus organisasi siswa intra sekolah (OSIS) yang lain mengumpulkan zakat. Berupa beras yang ditempatkan dalam kantong plastik. Siswa membawanya dari rumah mereka masing-masing, tentu seizin orangtua.

Katanya lagi, mereka tak hanya mengumpulkan, tapi juga mendata. Mencatat siapa, kelas berapa; berapa jumlahnya, sesuai dengan jumlah siswa atau tidak. Dalam data terlihat siapa yang sudah dan belum. Kalau ada yang belum, hari berikutnya bisa mengumpulkan.

Saya berusaha menangkap semua yang dikatakannya. Sekalipun terdengar samar-samar karena suaranya tak lebih keras dari suara kendaraan yang bising di jalanan siang itu. Karenanya, mungkin saja ada konten perkataannya yang tak tertangkap oleh telinga saya dan itu berarti tak tercatat di sini.

Tapi, dari yang sudah tercatat di sini, setidaknya memberikan gambaran kepada kita bahwa pengurus OSIS telah melakukan pekerjaan secara bergotong royong. Mereka melakukannya secara bersama, berbaur satu dengan yang lain tanpa memandang asal usul mereka, untuk satu pekerjaan yang mulia.

Saya, secara pribadi, merasa senang atas realitas tersebut. Sebab, si bungsu yang beragama Kristen dapat berbaur dengan teman-teman pengurus OSIS yang lain, yang sangat mungkin ada yang berbeda agama. Semua itu untuk urusan zakat, yang keberadaannya ada dalam satu rangkaian dengan kegiatan puasa Ramadan dan idul Fitri.

Mendengar ceritanya dan melihat semangatnya bercerita tentang aktivitas tersebut, saya membayangkan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh si bungsu bersama teman-temannya ada dalam suasana yang menggembirakan. Kalau suasananya sebaliknya, tentu saya melihat berbeda tentangnya. Kemungkinan ia diam dan cemberut.

Maka, barangkali tak salah kalau saya kemudian mengungkapkan demikian. Si bungsu melaksanakan tugas yang mulia itu dengan suka cita. Sementara teman-temannya, yang berkeyakinan berbeda dengannya dalam jumlah yang tentu lebih banyak, bisa terbuka menerima dirinya untuk bergabung. Si bungsu tentu saja menyambut penerimaan tersebut dengan hati riang gembira.

Saya mengetahui melalui cerita si bungsu, anak-anak yang beragama Kristen ada juga selain dirinya dalam aktivitas itu. Ada juga yang beragama Katolik. Cuma yang Hindu, Budha, dan Konghucu tak disebutkan, atau mungkin memang tak ada. Yang Kristen dan Katolik dapat berbaur dengan teman-temannya yang beragama Islam berpadu dalam kerja rohani: mengoordinasi zakat. Luar biasa!

Saya yakin hal seperti itu banyak dilakukan di sekolah-sekolah umum, baik negeri maupun swasta. Sekolah umum (dalam konteks ini) adalah sekolah yang tak berdasarkan agama atau keyakinan tertentu. Sekolah umum sebagian besar sekolah negeri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline