Lihat ke Halaman Asli

Sungkowo

TERVERIFIKASI

guru

Gemblong, Lompong, dan Rebung, Semangat Desa yang Menjawab Kerinduan Urban

Diperbarui: 28 Februari 2022   10:50

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rebung atau tunas bambu muda.| Sumber: SHUTTERSTOCK/Linda Mjj via Kompas.com

Tiga produk kearifan lokal yang disebut dalam judul catatan ini, sebagian besar orang sudah mengenalnya. Apalagi yang berlatar belakang dari kehidupan desa. Anda sudah mengenalnya, bukan? Tapi, izinkan saya sekadar mencatatkan.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), yang dimaksud gemblong adalah penganan yang dibuat dari ketan yang dibentuk bulat lonjong, digoreng, dan dilumuri dengan gula; penganan yang dibuat dari singkong kukus, ditumbuk halus diberi garam, diratakan pada daun pisang kemudian digulung, setelah agak dingin dipotong-potong, dimakan dengan kelapa parut.

Gemblong yang dibuka dari pembungkusnya, daun pisang. (Sumber: Dokumentasi pribadi)

Sementara itu, lompong yang merupakan istilah bahasa Jawa, yang dalam bahasa Indonesia disebut talas memiliki arti tumbuhan berumbi, daun muda dan tangkai mudanya dapat disayur, umbinya menjadi makanan pokok di Irian; keladi; Colocasia esculenta.

Selanjutnya, rebung adalah anak (bakal batang) buluh yang masih kecil dan masih muda, biasa dibuat sayur. Buluh sinonim dengan bambu; aur (banyak macamnya, seperti bambu apus, bambu betung, dan bambu duri.

Berdasarkan pengertian tersebut dapat dipahami bahwa ketiganya bersumber dari desa, khususnya daerah pertanian. Karena ketiganya bersumber dari bidang pertanian. Barangkali kita sepakat bahwa kalau tak ada pertanian, ketiga produk kearifan lokal tersebut juga tak ada.

Kami, saya dan istri, familier dengan ketiga produk kearifan lokal tersebut. Sebab, kami berasal dari desa. Jadi, sejak kecil kami mengenal yang namanya gemblong, lompong, dan rebung.

Yang disebut terakhir, kami sering menyebutnya "bung". Saya kira penyebutan itu diambil dari dua suku kata terakhir kata "rebung". Hingga kini, sebutan "bung" itulah yang digunakan masyarakat, khususnya masyarakat di desa asal kami.

Ketika saya masih kecil, rebung dimasak sebagai sayur santan. Entah siapa kali pertama yang menemukan sayur rebung? Saat itu, tak ada yang menjual rebung. Orang mengambilnya langsung di kebun.

Sekalipun tak punya rumpun bambu betung (bambu yang menghasilkan rebung di desa kami waktu itu) di kebun, orang masih bisa menyayur rebung secara gratis. Sebab, tetangga yang memiliki rebung biasanya menawari atau bahkan menyuruhnya mengambil sendiri di kebun.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline