Fenomena bahasa anak Jakarta Selatan (Jaksel) dijadikan bahan diskusi di Kompasiana kali ini. Sebab, bahasa anak Jaksel dianggap berbeda dengan bahasa anak dari tempat lain.
Perbedaannya adalah anak Jaksel menggunakan bahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Inggris saat berkomunikasi, sementara tidak demikian anak dari tempat lain.
Gejala tersebut dikhawatirkan oleh sebagian orang dapat merusak bahasa Indonesia. Bahkan, kelak dapat menyingkirkan bahasa Indonesia dari komunikasi mereka.
Karena, bukan mustahil mereka (akhirnya) menggunakan bahasa Inggris dalam berkomunikasi sehari-hari. Atau, setidaknya, bahasa Indonesia hanya disisipkan di dalam konstruksi bahasa Inggris ketika mereka berkomunikasi.
Kekhawatiran yang mungkin terjadi berbanding terbalik dengan kenyataan yang sekarang. Sebab, sekarang, komunikasi mereka menggunakan bahasa Indonesia yang disisipi dengan bahasa Inggris. Jadi, bahasa Indonesia masih dominan di dalam komunikasi mereka.
Karenanya, saya tidak yakin bahwa gaya berbahasa anak Jaksel akan merusak tatanan bahasa Indonesia.
Apalagi, mampu menyingkirkan bahasa Indonesia dari komunikasi mereka. Sebab, mereka hidup di Indonesia, yang sebagian besar penduduknya berkomunikasi menggunakan bahasa Indonesia.
Saat mereka berada di Jaksel boleh jadi bebas menggunakan bahasa anak Jaksel. Bahkan, dimungkinkan gaya berbahasa mereka itu semakin berkembang dari waktu ke waktu. Sebab, lingkungan pergaulan mereka sangat mendukung.
Tapi, ketika mereka berada di tempat lain, rasanya tak mungkin mereka mempertahankan gaya berbahasanya. Sebab, lingkungan tempat mereka berada belum tentu mendukung. Bukankah begitu?
Selain itu, ketika mereka berkomunikasi toh hanya mengganti diksi bahasa Indonesia dengan diksi bahasa Inggris yang semakna dalam konstruksi kalimat.
Ini berbeda, misalnya, dengan fenomena singkat-menyingkat kata bahasa Indonesia yang tak sesuai kaidah yang berlaku dalam chatting di media sosial. Tindakan ini memang dikhawatirkan dapat merusak bahasa Indonesia.