Lihat ke Halaman Asli

Sungkowo

TERVERIFIKASI

guru

Prei, Momen Mengumpulkan yang Berdiaspora

Diperbarui: 28 Desember 2019   02:42

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Nenek sedang bercerita di hadapan anak-anak dan cucu-cucu. (dok.pribadi)

Prei atau libur menjadi momen untuk berkumpul. Sebab, sebagian besar orang lazimnya kembali ke tempat asal karena libur. Libur dari rutinitas bekerja, ini tentu saja bagi mereka yang bekerja di luar tempat asal. Mereka yang sudah merantau jauh.

Memang budaya merantau sudah sejak lama terjadi di negara kita. Dari satu daerah ke daerah lain. Umumnya, dari pedesaan ke perkotaan. Karena di perkotaan lebih banyak peluang tempat untuk bekerja daripada di pedesaan.

Di perkotaan banyak didirikan perusahaan, yang membutuhkan banyak karyawan. Sehingga orang-orang dari pedesaan berbondong-bondong ke perkotaan. Pedesaan mereka tinggalkan menuju perkotaan dengan harapan dapat mengubah peruntungan.

Memang peruntungan di pedesaan, terutama tiga dekade yang lalu, tidak menjanjikan. Di daerah saya banyak lahan pertanian yang tidak disukai oleh generasi muda. Karena ketika itu generasi muda gengsi bekerja sebagai petani.

Rendahnya pendidikan generasi muda pedesaan kala itu, membatasi mereka berinovasi dalam pertanian. Sehingga apa yang dilakukan oleh generasi tua dalam bertani, itu yang mereka mengerti. Dan, kalau mereka terpaksa harus bertani, pasti bertani sesuai dengan gaya orang tua mereka bertani. Tak ada perubahan.

Mencangkul, membajak, menebar benih, merawat bibit, menangkarkan ke lahan pertanian merupakan aktivitas petani sehari-hari. Mereka bergelut dengan lumpur tanah, terik matahari saat musim kemarau, dan dingin air saat musim hujan. Selalu kotor dan bekerja keras adalah persepsi sebagian besar generasi muda ketika itu. Sehingga, sekali lagi, mereka gengsi menjadi petani.

Pilihan mereka akhirnya berlari ke kota meskipun dengan pendidikan yang pas-pasan. Mau tidak mau mereka bekerja sebagai karyawan di perusahaan (pabrik). Beberapa generasi muda yang memang bernasib baik, bisa mendapatkan posisi bekerja yang lumayan dengan upah yang tentu lumayan juga.

Seiring perkembangan zaman, banyak generasi muda pedesaan yang pendidikannya tinggi. Tetapi, mereka ini pun tidak mau mengolah tanah pertanian secara modern. Mereka tetap mengejar peruntungan ke perkotaan. Hanya, level mereka dalam bekerja mulai meningkat sesuai dengan tingkat pendidikan mereka. Kelompok ini yang relatif berhasil hidup di perantauan.

Bahkan, karena pengalaman hidup di perkotaan dan keberanian mengambil risiko, beberapa dari mereka berusaha menciptakan lapangan pekerjaan. Misalnya, membuka warung makan, membuat kios, menjadi pedagang kaki lima, dan lain sebagainya. Mulai tumbuh jiwa berusaha. Kelompok ini pun juga mengalami sukses hidup di kota perantauan.

Makanya, terus berkembang dari waktu ke waktu. Semakin bertambah banyak generasi muda pedesaan yang bekerja di perkotaan. Karena keberhasilan teman di perantauan ditiru atau diikuti segenerasinya. Bahkan, generasi berikutnya. Pola demikian itu berlangsung hingga sekarang. Selesai kuliah, misalnya, mereka mencari pekerjaan ke kota atau berusaha di kota.

Apalagi kini, di pedesaan memang semakin sulit orang mendapat pekerjaan. Selain tanah pertanian yang  semakin berkurang karena untuk area permukiman, juga jumlah generasi muda semakin banyak, yang berdampak pada tingkat kompetisi yang tinggi. Kenyataan tersebut mengakibatkan tidak mudah menemukan pekerjaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline