Lihat ke Halaman Asli

Sungkowo

TERVERIFIKASI

guru

Berpikir Positif, Kalahkan Trauma

Diperbarui: 21 Desember 2019   17:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

ilustrasi dari: www.istockphoto.com

Saya pernah memiliki pemimpin yang suka uang. Kalimat itu kesannya wajar saja. Sebab, siapa pun, termasuk saya, juga suka uang. Rasanya tidak ada kok orang yang masih hidup tidak suka uang. Semua orang hidup suka uang. Mulai anak-anak hingga orang dewasa suka uang. Bukankah begitu?

Tetapi, suka uang yang bagaimana, itu yang membedakan. Pemimpin saya, terhadap hampir semua aktivitas berujung pada uang. Harus menghasilkan uang. Harus menguntungkan. Bahkan, sekalipun anak buahnya menderita, yang penting menghasilkan uang, seakan tidak menjadi masalah. Ia tetap bisa menikmatinya dengan riang ria.

Kenyataan yang sudah biasa, meskipun pemimpin "suka uang" dengan berbagai cara mendapatkannya termasuk hingga anak buah pun (dibuat) menderita, selama itu pula tidak ada orang yang berani bersuara. 

Seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Padahal, sejatinya secara sembunyi-sembunyi ada pemberontakan dalam benak. Ketika sang pemimpin tidak berada di tempat, anak buah bersuara. Tetapi, ketika sang pemimpin berada di tempat, anak buah diam saja.

Semua itu terjadi karena rasa takut. Takut disingkirkan kalau bersuara. Takut dipecat kalau berbicara. Intinya, takut kehilangan pekerjaan yang boleh jadi mengakibatkan istri/suami, anak-anak, dan keluarga menderita karena kebutuhan-kebutuhan tak dapat terpenuhi lagi.

Bukan mustahil di antara sesama anak buah saling mencurigai di tempat kerja. Sebab, bisa-bisa sang pemimpin (telah) memiliki mata-mata, spionase. Sehingga kalau ada anak buah mau bersuara, sangat berhati-hati meski mengetahui sang pemimpin tidak berada di tempat. Tidak bisa leluasa. Harus membaca situasi dan kondisi terlebih dahulu. Baru ketika dirasa aman, mulailah bersuara. Menyuarakan kelakuan pemimpin yang suka uang.

Pemimpin yang suka uang tentu bisa dicari asal-usulnya. Posisi pemimpin yang diperolehnya karena kolusi, lazimnya yang suka uang. Sebab, untuk menduduki kursi pemimpin sudah keluar modal terlebih dahulu. Selama ia memimpin tentu ingin mengembalikan modal. Bahkan, hitung-hitungan orang bekerja, harus mendapat untung. Percuma kalau hanya kembali modal. Ia harus mendapat untung, bisa kembali lipat ganda dari modal.

Tetapi, pemimpin tetaplah terbatas. Sebab, ada masa periode menjadi pemimpin. Ketika masanya habis, ia harus meninggalkan kursi pemimpin. Tidak terus mendudukinya.

Jadi, sangat mungkin ketika berganti pemimpin, berganti pula gaya seseorang memimpin. Kalau dahulu memiliki pemimpin suka uang, boleh jadi sekarang memiliki pemimpin yang suka berbagi uang. Pemimpin yang begini, di mana dan kapan pun disukai anak buah. Situasi dan kondisi kerja dalam kepemimpinan yang demikian niscaya nyaman dan tenteram.

Saya berpikir sekalipun tidak suka berbagi uang, tetapi seorang pemimpin bekerja secara tanggung jawab dan berintegritas, tetaplah memberi suasana kerja yang nyaman dan tenteram. Semua anak buah tentu menerima dengan suka cita. Selama bertanggung jawab dan berintegritas, tidak ada orang yang berpikir secara spekulatif. 

Orang-orang dalam lingkungan kerja pasti berpikir lurus. Karena masing-masing sudah memahami peran dan bagian yang menjadi haknya. Orang yang perannya kecil, haknya juga kecil. Orang yang perannya besar, hak yang diterimanya juga besar. Semua yang berjalan secara proporsional menciptakan kesejahteraan bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline