Minggu-minggu ini musim penerimaan rapor. Rapor ya. Bukan raport, pun bukan rapot. Ini bagian yang harus saya acuhkan. Sebab, masih banyak orang mengucapkan "rapot" untuk menyebut rapor. Atau, menuliskan "rapot" atau "raport" untuk menuliskan rapor. Hal itu boleh jadi karena banyak orang sudah terbiasa mengucapkannya atau menuliskannya dan tidak ada orang yang mengingatkan bahwa kata yang diucapkan atau dituliskan itu salah. Sehingga menjadi salah kaprah.
Salah kaprah artinya banyak orang sudah mengetahui sesuatu itu salah, tapi karena banyak orang menganggap sesuatu itu benar, akhirnya dianggaplah benar.Oleh karena itu, untuk mendudukkan persoalan secara benar, sejak membaca tulisan ini, marilah kita melafalkan dan menuliskan "rapor", bukan raport atau rapot.
Sehingga lambat laun dalam masyarakat ada perubahan ke arah pelafalan dan penulisan yang benar berkaitan dengan penyebutan "rapor". Masyarakat akhirnya mengenal bahasanya sendiri secara baik dan benar. Memulai dari pengucapan dan penulisan kata "rapor" diharapkan meluas ke pengucapan dan penulisan bentuk lain secara baik dan benar, misalnya, "antre", bukan "antri" dan "risiko" bukan "resiko".
Sebab, pembiaran terhadap sesuatu yang salah, apalagi kita latah terhadap sesuatu yang salah itu, niscaya keadaan akan semakin parah. Karena bukan mustahil akan merambah kepada semakin banyak orang. Dan, itu berarti semakin banyak orang yang menjadi korban. Seperti semakin banyaknya orang tua/wali siswa yang menuntut ada peringkat setiap musim penerimaan rapor.
Ya, peringkat atau ranking selalu menjadi pembicaraan banyak orang ketika musim penerimaan rapor. Orang tua/wali siswa selalu menanyakan kepada guru, peringkat berapa anaknya. Pun demikian orang tua/wali siswa selalu menanyakan kepada anak (siapa pun) yang dijumpainya saat penerimaan rapor tentang peringkat mereka. Tak jarang orang tua/wali siswa saling menanyakan peringkat anak mereka. Dampak dari semuanya itu akhirnya guru membuat peringkat. Sedihnya, ada juga guru yang menanyakan peringkat, biasanya tiga teratas, siswa didik kelas tertentu.
Sekarang sudah tidak ada lagi peringkat. Di dalam rapor tidak ada kolom untuk menuliskan peringkat. Itu berarti guru tidak perlu lagi memeringkat siswanya berkaitan dengan nilai rapor. Toh memang secara edukatif, peringkat nilai rapor tidak memiliki dampak signifikan dalam memotivasi siswa belajar.
Sebaliknya, motif-motif yang terjadi cenderung kurang baik. Misalnya, bagi siswa agar ia terpandang di antara teman-temannya. Pun demikian bagi orang tua/wali siswa agar anaknya terpandang di antara orang tua/wali siswa yang lain. Jadi, yang muncul malah sikap tinggi hati. Belum lagi bagi anak yang peringkat bawah. Ia akan merasa malu; minder di antara teman-temannya dan orang tua/wali siswa.
Dahulu memang pernah ada peringkat dalam nilai rapor. Pernah semua siswa dalam kelas diperingkat. Kalau dalam kelas jumlah siswa 35, boleh jadi ada peringkat 1 sampai dengan 35 dalam kelas tersebut. Anak yang memiliki peringkat 35 sangat berat menanggung beban jiwa. Tetapi, kemudian ada perubahan. Hanya peringkat satu sampai dengan sepuluh yang ditulis dalam rapor.
Ada perubahan lagi pada tahun-tahun selanjutnya. Hanya peringkat satu sampai dengan tiga yang diterakan dalam rapor. Dan, akhirnya sekarang peringkat itu dihapus dari rapor. Tetapi, seperti yang kita lihat sekarang, peringkat itu ada lagi meski dalam lembar sendiri, yang biasanya dibagikan bersama penerimaan rapor.
Di sekolah tertentu tidak memberi peringkat nilai rapor dalam lembar sendiri. Orang tua/wali siswa hanya menerima rapor. Tetapi, untuk menjawab rasa penasaran orang tua/wali siswa, guru kadang menuliskan peringkat di papan tulis. Peringkat satu hingga sepuluh. Toh demikian, selama ini tidak ada pertanyaan dari orang tua/wali siswa mengenai siswa yang masuk peringkat di atas sepuluh. Seakan peringkat kesebelas dan seterusnya tidak termasuk hitungan mereka.
Bolehlah dibilang pandangan itu merendahkan peringkat yang tidak masuk hitungan. Padahal, peringkat nilai rapor itu berdasarkan nilai rata-rata semua pelajaran. Jelas tampak di sini mengabaikan spesifikasi siswa. Bukan mustahil siswa yang ada di peringkat 15, misalnya, memiliki kecerdasan seni karena ia juara pertama gitar duet tingkat provinsi. Tetapi, kecerdasannya itu kurang mendapat pengakuan. Itulah makanya kolom untuk menuliskan peringkat dalam rapor dihapus sejak beberapa tahun lalu.