Saya menemukan fenomena buruk pada beberapa anak didik saya di sekolah. Terkantuk-kantuk saat pembelajaran berlangsung. Saya mengetahui kemudian setelah mereka mengatakan bahwa semalam mereka tidur saat waktu sudah larut. Penyebab mereka tidur larut malam adalah karena bermain game.
Hal itu tak dapat dimungkiri karena keadaannya sangat memungkinkan mereka bermain game. Toh mereka kebanyakan sudah memiliki gawai pintar yang dapat digunakan untuk mengunduh berbagai game. Selain itu, anak-anak usia SD kelas besar sampai SMA sudah tidur di kamar sendiri dan mereka leluasa membawa gawai.
Memang ada orang tua yang sudah memiliki kesepakatan dengan anak agar anak tidak sembarang menggunakan gawai. Menggunakan gawai dibatasi, baik waktu maupun konten yang hendak dibuka. Kesepakatan ini tentu sangat membantu orang tua dalam mengontrol anak memanfaatkan gawai.
Toh memang ada game-game yang dapat mengedukasi anak, baik dalam aspek pengetahuan, keterampilan, maupun sikap. Dengan bermain game yang demikian itu kompetensi anak dapat mengalami tumbuh kembang maksimal. Karena itu memang orang tua wajib menjadi fasilitator.
Konsekuensinya orang tua harus mengikuti perkembangan bidang teknologi, informasi, dan komunikasi (TIK). Setidaknya memiliki kemampuan di bidang TIK sedikit lebih tinggi ketimbang anak. Sehingga orang tua dapat mengontrol anak dalam memanfaatkan gawai secara efektif.
Tapi, tak sedikit pula orang tua yang sudah melek TIK, tapi karena kesibukan, anak mereka hanyut dalam game lewat gawai. Anak dengan bebas memanfaatkan gawai tanpa ada kontrol dari orang tua. Hanya, beberapa orang tua tentu ada yang memfungsikan fitur tertentu dalam gawai untuk mengontrol pemanfaatan gawai oleh anak.
Orang tua yang tidak mengikuti perkembangan TIK atau bahkan tidak mengenal dunia TIK sangat rentan terhadap "kecerdikan" anaknya dalam memanfaatkan gawai. Berdasarkan kesaksian beberapa orang tua, tak sedikit anak yang mengatakan belajar, tapi (setelah diketahui) ternyata mereka bermain game. Kebanyakan saat di rumah dan di dalam kamar.
Sampai-sampai istri saya suatu saat "dicurhati" oleh salah satu orang tua anak didik saya tentang anaknya yang teracuni gawai. Betapa tidak, anaknya itu, katanya, sampai tak dapat lepas dari gawai. Kalau gawainya diambil, anak itu sepertinya bingung bahkan linglung, seperti orang stres. Sampai buruk seperti itu dampaknya.
Lalu, istri saya bilang kepada saya bahwa salah satu orang tua anak didik saya itu berpesan agar saya menasihati anaknya. Saya katakan kepada istri saya, iya, sebab hal itu persoalan yang juga merupakan kewajiban saya untuk turut mencari jalan keluarnya. Toh anak itu salah satu anak didik saya di sekolah, yang setiap hari masuk sekolah, kami bertemu.
Saya memang kemudian menasihati anak-anak secara kolektif di kelas tempat anak didik yang dimaksud di atas sebagai anggota kelas itu. Nasihat saya bersifat umum, yaitu mengenai pemanfaatan gawai yang dapat berdampak positif dan negatif. Tergantung kehendak si pemakai.
Kalau pemakai memanfaatkan gawai secara positif pasti membuat si pemakai kaya pengetahuan, terampil, dan bersikap baik. Kalau pemakai memanfaatkan gawai secara negatif niscaya akan "menghancurkan" si pemakai. Jadi, tinggal pemakai mau pilih yang mana.