Dalam Undang-Undang Republik Indonesia (UURI) Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, Bab III, Pasal 25, Ayat (2), dinyatakan bahwa Bahasa Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berfungsi sebagai jati diri bangsa, kebanggaan nasional, sarana pemersatu berbagai suku bangsa, serta sarana komunikasi antardaerah dan antarbudaya daerah.
Sekadar mengingatkan, bunyi ayat (1) yang dirujuk di atas adalah Bahasa Indonesia yang dinyatakan sebagai bahasa resmi negara dalam Pasal 36 Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945 bersumber dari bahasa yang diikrarkan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28 Oktober 1928 sebagai bahasa persatuan yang dikembangkan sesuai dengan dinamika peradaban bangsa.
Mengingat fungsi bahasa Indonesia yang sedemikian penting terkait dengan keberagaman di Indonesia dan mengingat sejarah kelahirannya, sudah seharusnya kita menjaga kewibawaan bahasa Indonesia. Sebab, setiap bahasa, termasuk bahasa Indonesia, memiliki kaidah, hukum, atau dalil-dalil yang harus ditaati.
Bahasa Indonesia harus dimengerti secara baik dan benar oleh masyarakat pemakainya sekaligus pemiliknya, yaitu masyarakat Indonesia. Jangan sampai suatu saat, masyarakat Indonesia lupa bahkan kehilangan bahasa Indonesia.
Sampai saat ini kita masih banyak menjumpai pemakaian bahasa Indonesia yang tidak sesuai dengan kaidah yang berlaku. Hal itu boleh jadi karena dua kemungkinan. Kemungkinan kesatu, karena ketidaktahuan pemakai akan kaidah bahasa Indonesia.
Mereka tidak (mau) belajar meskipun kaidah bahasa Indonesia mudah diperoleh, baik secara daring (dalam jaringan) maupun luring (luar jaringan). Bahkan, Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) tersedia dalam wujud buku, baik buku eletronik maupun nonelektronik.
Kemungkinan kedua, pemakai bahasa sudah mengetahui kaidah yang berlaku, tetapi mereka sengaja menggunakan bahasa Indonesia yang abai terhadap kaidah dengan pertimbangan tertentu.
Mereka yang masuk dalam kelompok ini bukan mustahil kaum terpelajar. Hanya karena pengaruh lingkungan, teman, atau kebiasaan, mereka seakan "semaunya" menggunakan bahasa Indonesia.
Dalam Kompas, Jumat, 12 Oktober 2018, dilaporkan bahwa pemakaian bahasa Indonesia di ruang pelayanan publik, terutama di instansi pemerintah daerah, belum tertib.
Masih banyak instansi pemerintah daerah mencampurkan bahasa Indonesia dengan bahasa daerah dan bahasa Inggris yang penulisannya salah sehingga artinya tidak jelas atau bermakna ganda.
Untuk contoh pelanggaran penulisan ejaan, kata "sanksi" yang bermakna hukuman ditulis "sangsi". Contoh pencampuran bahasa Indonesia dan bahasa asing, ditemukan penulisan kata "complain masyarakat".