Lihat ke Halaman Asli

Gojek Go Back (1)

Diperbarui: 9 November 2015   00:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Agustus silam jadi momentum Go-jek menunjukkan keperkasaannya. Puluhan ribu orang rela mengantre berjam-jam di Hall A, B, C Komplek Gelora Bung Karno demi menjadi mitra Go-jek alias driver. Sejak itu pula Nadim Makarim sukses "menghijaukan" Jakarta.

Perlu diingat rekrutmen driver massal kala itu bersamaan dengan job fair yang cukup bergengsi tetapi justru kalah peminat dibanding hajatan Go-jek. Bagaimana tidak, pemberitaan mengenai pendapatan driver Go-jek yang bombastis membuat banyak orang tergiur. Alih-alih mendatangi job fair, ribuan karyawan yang telah melepas pekerjaannya malah ikut mendaftar sebagai pengemudi Go-jek.

Rekrutmen massal Go-jek juga berpengaruh terhadap citra brand. Jika sebelumnya Go-jek dikenal karena terobosannya, aplikatif dan tarifnya sangat terjangkau, maka rekrutmen menjadi mimpi puluhan ribu orang yang ingin meningkatkan kualitas hidupnya dari sisi ekonomi. Wartawan media ternama, staf protokol lembaga negara, supervisor sebuah perusahaan bonafid sampai anak punk atau buruh angkut pelabuhan semuanya bergabung dengan Go-jek. Ditambah lagi pemberitaan mengenai penolakan dan aksi kekerasan dari ojek pangkalan yang cukup menyentuh rasa kemanusiaan publik.

Medio September lalu saya menanyakan berapa jumlah pengemudi Go-jek kepada salah seorang karyawan PT. Gojek Indonesia yang berkantor di kawasan Kemang Selatan dan saya mendapat angka lebih dari 100.000. Barang tentu jumlah yang sangat fantastis, meskipun saya anggap itu sebagai angka bayangan yang masih perlu konfirmasi lebih lanjut.

Bisnis tetaplah bisnis, dan Go-jek beroperasi dengan dana investasi yang memiliki batas. Tarif promo berikut cerita persaingan dengan kompetitor terbesar, Grab Bike suatu saat pasti berakhir. Di situ kiranya inti masalah. Investasi Go-jek pasti mempunyai valuasi tersendiri. Go-jek bisa saja membuat laporan kepada investor bahwa permintaan atau order telah menembus 300.000 dalam sehari. Tetapi angka tersebut faktanya masih dibantu kebijakan tarif promo di semua item jasa.

Dalam dua bulan terakhir Go-jek mulai berani memperlihatkan "wajah aslinya", dimulai dengan tarif Rp 2500 per km untuk layanan transport yang berlaku pada pukul 16.00-17.00. Imbasnya, permintaan menurun drastis, terutama jarak lebih dari 6 km. Driver lebih banyak menghabiskan waktu petang dengan secangkir kopi dan senda gurau bersama rekan sesama.

Saya berpendapat karakteristik konsumen Indonesia suka dengan potongan harga atau bonus pembelian, tetapi mengesampingkan kualitas layanan. Dalam kasus Go-jek, misalnya, sekalipun penumpang berkali-kali mendapat driver yang ugal-ugalan, tidak memberikan masker dan hair cover, tidak mengenakan atribut dan hal-hal lain yang melanggar prosedur, mereka akan tetap menggunakan Go-jek. Namun ceritanya sama sekali lain apabila Go-jek menerapkan tarif normal. Para pengguna dengan segera akan balik badan.

Padahal semestinya Go-jek sudah cukup memikat publik dengan terobosan dan fiturnya tanpa harus melipatgandakan jumlah driver yang juga berimbas pada dana investasi yang kian membengkak. Gemuknya stok driver ini masih diperparah dengan kualitas aplikasi yang seringkali mengalami error service, utamanya pada jam sibuk. 

(Bersambung)

 




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline