Lihat ke Halaman Asli

Secangkir Kopi dan Sepotong Rindu

Diperbarui: 9 November 2015   11:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Tidak terasa sudah tiga tahun sejak kepergianku meninggalkan kampung halaman demi mencari receh untuk keberlangsungan hidup dan untuk tabungan masa depanku. Aku tidak pernah menyesal, karena memang aku sadar aku harus melakukannya, demi bisa mendapatkan modal yang cukup untuk biaya resepsi dan membangun keluarga kecil bersamanya. Impian kecil yang kami bangun bersama kala itu, saat ini coba kami realisasikan dengan usaha masing-masing.

Benar saja, karena sampai detik ini kami masih berjuang bersama untuk impian kami. Setelah mendapat predikat sarjana, aku memutuskan untuk merantau kekota orang, dan dia masih melanjutkan pendidikannya karena kami terpaut tiga tahun. Namun saat ini dia sudah berhasil merampungkan masa studinya dan melanjutkan S2 Profesi karena cita-citanya memang bisa membuka praktek sendiri sebagai psikolog. Kami senang menjalaninya, tdak ada paksaan sama sekali dalam usaha ini, karena ini memang pilihan kami, meskipun kami harus mengalami keadaan yang mungkin bagi sebagian mereka yang berpasangan tidak diinginkan, yaitu Long Distance Relationship atau yang populer dikenal dengan LDR.

Kamar kecil berukuran 4x4 ini kini menjadi tempat pesakitanku. Tempat beristirahat setelah seharian bekerja, pun tempat ku bernostalgia dengan kenangan kenangan bersamanya, meski sesekali ketika aku senggang aku sempatkan menelponnya. Dipojok kamar aku taruh meja kecil dengan kursi sebagai senjataku menggarap laporan-laporan pekerjaan yang setiap hari pasti aku bawa pulang. Meja yang tak luput dari tumpukan buku masa kuliah sebagai referensi rumus kerja, laptop yang sudah bisa dikatakan lapuk dengan huruf keyboard yang hampir terhapus semua, dan cangkir kecil pemberiannya ketika perpisahan kami di bandara.

“mas, mamas hati hati ya disana”.

“iya dek, mamas hati hati kok, don’t be affraid”, sembari kubumbui senyuman kecil sebagai upaya pemberontakan untuk ar mata yang semakin mengembang dimata ini.

“adek gag bisa ngasih apa-apa mas, adek  hanya bisa ngasih kepercayaan, adek percaya mamas, adek yakin mamas akan berjuang disana demi impian kecil kita”.

Kulihat air mata kekasihku sudah tidak terbendung dan perlahan menetes, pun denganku, mulut ini tak kuasa melontarkan sepatah kata pun untuk menanggapi perkataannya. Hanya pelukan yang bisa kuberikan, dengan sigap kupeluk tubuh mungilnya, lalu kukumpulkan sedikit kekuatan untuk berbisik ditelinganya,

 “dek, terimakasih buat selama ini, mamas sayang adek, dan mamas berjanji akan berjuang mati-matian demi impian kecil kita, adek yang kuat yaa, nanti ada waktunya mamas datang kerumah adek beserta keluarga mas”.

seketika itu dia semakin tak kuasa menahan tangisnya seraya memperkuat pelukannya, tapi aku harus kuat, aku harus bisa menahan air mataku yang ingin tumpah, aku harus bisa memperlihatkan ketegaran supaya dia kuat. Tidak ada perpisahan yang yang biasa saja, apalagi bagi kami, karena hari hari sebelumnya bisa dikatakan tidak ada hari tanpa tidak ketemu, dan ini kami harus berpisah dalam waktu yang cukup lama.

Perlahan ia melepaskan pelukannya seraya kucoba menghapus air mata yang menetes lewat pipinya dengan tanganku. Setelah itu kulihat senyum kecil nan manis keluar dari bibir tipisnya.

“mas, ini adek ada barang untuk mamas, jangan dilihat harganya ya, dan jangan dibuka sebelum mamas sampai disana”. Katanya manja sembari menyodorkan bungkusan kecil yang diambilnya dari tasnya.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline