Lihat ke Halaman Asli

[Kartini RTC] Janda Lugu vs Janda Belagu

Diperbarui: 17 Juni 2015   07:53

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14295074941976543210

Pakde Kartono : No peserta 69

Dina selalu teringat kata-kata RA Kartini dalam bukunya "Habis Gelap Terbitlah Terang" di mana dikatakan "Adakah yang lebih hina, daripada bergantung kepada orang lain?" Kata-kata ini menjadi pegangan Dina dalam menjalani kerasnya hidup dan kejamnya dunia.

Dina adalah seorang janda muda, usianya 27, anaknya 3. Suami Dina meninggal karena kecelakaan di pintu perlintasan kereta, tertabrak kereta akibat ia berusaha menerobos pintu palang kereta yang mulai tertutup, namun roda motornya terantuk lubang besar dan suaminya rebah bersama motor yang belum lunas kreditnya. Suaminya tewas di tempat, wajahnya penuh luka, tulang-tulang tubuhnya patah jadi lima.

Saat Dina mendengar kabar kematian suaminya, ia sedang hamil tua anak ketiga. Dina menjerit histeris, berteriak seperti orang gila, tidak percaya suaminya yang sangat dicintainya pergi tiba-tiba, padahal paginya sebelum berangkat kerja, mereka sempat bercengkerama dan suaminya mengatakan ingin mengajak Dina liburan berdua ke Pulau Pramuka di kepulauan Seribu, mereka akan berenang, menyelam, memancing ikan dan menginap di villa, menunggu tembus pasangan togel 4 angka yang setiap malam dipasang suaminya di Koh Akew, bandar togel pemilik warung kopi di ujung jalan.

Sejak suaminya meninggal, ada beberapa pria berusaha mendekat untuk mengisi kekosongan hati dan ranjang Dina. Ia bergeming. Hati dan pikirannya masih selalu ke mas Doni, suaminya yang telah memberi 3 anak dan ribuan enak.

Para pria ini menawarkan kehidupan yang nyaman, mungkin juga masa depan yang aman, sehingga Dina tidak perlu bekerja keras membanting tulang, memeras keringat, memutar otak, memendam birahi setiap hari demi rupiah. Dina menampik semua itu.

Baginya pria-pria ini hanya mencintai dirinya, tubuhnya, tidak akan pernah bisa mencintai anak-anaknya. Lagipula, kalo ia menikah lagi, ia tak mampu membayangkan kesedihan mas Doni di alam sana, melihatnya setiap malam di peluk, cium dan setunuhi pria lain.

Dina masih yakin seyakin-yakinnya, suaminya hanya mati raganya, tidak jiwanya. Cinta Dina dan Doni yang terjalin sejak SMA, terlalu kuat untuk dipisahkan oleh sebuah kematian. Cinta mereka tetap hidup, melintasi jaman, melintasi alam.

Malah sering timbul keinginan kuat di diri Dina, ia ingin mati segera, meninggalkan dunia, meninggalkan anak-anaknya, toh anak-anaknya akan diurus oleh negara sesuai amanat pasal 34 UUD 1945, fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara, agar supaya Dina dan Doni bisa bersama selama-lamanya di alam sana, bukan seperti di bumi yang sifatnya sederhana.

Anton, pemilik toko beras di pasar kampung, yang sudah berusia kepala 5 tapi belum menikah pernah mengatakan "Dina, maukah kamu jadi istriku, akan kubuatkan 1 toko beras untukmu, sehingga kamu gak perlu hidup susah seperti saat ini."

Budi, pemilik salon di jalan lintas kota, yang tobat dari sifat gay dan mau hidup normal pernah mengatakan "Din, aku gak mau jadi gay lagi. Aku mau hidup normal, punya istri dan anak-anak. Hanya kamu yang aku suka, aku cinta, mau kah kamu menikah denganku? Kalo kamu mau, kita rayakan pernikahan kita besar-besaran."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline